Tidak berhenti di situ, U.S. FDA juga mengharuskan perusahaan yang telah mendapatkan izin, untuk melakukan pengawasan pasca pemasaran, termasuk pemantauan dinamika pasar seperti potensi perkembangan dari penggunaan produk tersebut.
Menurutnya, langkah ini merupakan upaya untuk menghindari penggunaan produk tembakau alternatif yang tidak sesuai dengan hakikat perlindungan kesehatan masyarakat.
“Potensi yang tidak diinginkan terjadi adalah jika non-perokok, termasuk anak-anak mulai menggunakan produk ini. Non-perokok kemungkinan bereksperimen dengan produk ini dan menjadi lebih kecanduan jika dibandingkan dengan orang yang bereksperimen dengan mencoba rokok,” tuturnya.
Akademisi dari Universitas Padjajaran, Satriya Wibawa, menambahkan kebijakan U.S. FDA dalam mengambil keputusan yang berlandaskan kajian ilmiah sepatutnya ditiru oleh negara-negara di dunia khususnya Indonesia.
Sebab, Indonesia masih minim akan kajian ilmiah sehingga dampaknya adalah pro dan kontra terhadap produk tembakau alternatif.
“Kajian ilmiah harus menjadi landasan untuk menilai produk tembakau alternatif, bukan karena pertimbangan ideologis atau politis. Hal ini untuk menciptakan kebenaran informasi kepada publik tentang produk tembakau alternatif,” ujarnya.
Hasil dari kajian tersebut nanti dapat dijadikan acuan bagi pemerintah untuk menyusun regulasi produk tembakau alternatif seperti yang dilakukan Amerika Serikat dan negara maju lain seperti Inggris dan Selandia Baru.
“Produk ini tidak cukup diatur dari sisi cukai saja, namun lebih luas lagi mencakup aspek yang meliputi tata cara pemasaran dan pengawasan, standar produk untuk perlindungan konsumen, akses informasi yang akurat bagi konsumen, peringatan kesehatan yang harus dibedakan dari rokok, dan batasan usia agar tidak dapat diakses bagi anak di bawah umur,” pungkasnya.
Baca Juga: Ekonom Sebut Struktur Tarif Cukai Tembakau di Indonesia Super Kompleks