Lebih lanjut, Faisal mengatakan prinsip dari teori mikro bagi perusahaan yang beroperasi sebagai produsen minyak goreng (khusus), dalam jangka pendek akan terus berproduksi sepanjang masih bisa menutupi variable cost). Tetapi ini sifatnya temporer karena akan memengaruhi keuangan perusahaan.
“Tetapi, jika kondisinya berlangsung lama dan pada akhirnya harga di bawah total average cost, maka akan berhenti berproduksi atau exit. Berbeda, kalau dia (produsen) mempunyai alternatif (bisnis hilir) misalnya pabrik biodiesel, oleokimia, dan pabrik sawit. Maka akan dihitung jika pabrik minyak goreng tidak menguntungkan karena 80% bahan baku dari CPO karena harganya sensitif (naik turun) tetap berproduksi, " ujarnya.
Setelah, kebijakan subsidi harga minyak goreng tidak berhasil. Pemerintah mengubah kebijakan menjadi penetapan HET (Harga Eceran Tertinggi) minyak goreng untuk seluruh produk. Masalahnya, rentang waktu perubahan kebijakan ini terbilang singkat yang berakibat pelaku usaha harus beradaptasi dengan kebijakan baru.
Faisal menjelaskan kebijakan HET tadi membuat harga minyak goreng baik kemasan dan non-kemasan (curah) menjadi sama. Imbasnya, masyarakat mengambil kesempatan dengan beralih dari minyak curah ke minyak kemasan.
"Di lain pihak, produksi minyak goreng relatif tetap sehingga terjadi ketimpangan antara permintaan dan pasokan (shortage). Jadi, kebijakan HET itu hanya efektif apabila pemerintah memiliki stok cadangan untuk menjamin barang tersedia di pasar. Dalam kasus minyak goreng seperti tahun lalu, pemerintah tidak punya stok,” kata Faisal.
Dikatakan Faisal, dari kacamata kebijakan publik bahwa pemerintah seharusnya bisa membuat pasar lebih fleksibel. Kebijakan pemerintah juga sebaiknya tidak berbentuk larangan atau bagi-bagi kuota.
"Intervensi pemerintah tidak boleh mengubah model bisnis. Nyatanya, lewat kebijakan DMO, pemerintah mewajibkan produsen sawit untuk memproduksi minyak goreng apabila ingin mengekspor. Padahal, belum belum tentu dia punya pabrik minyak goreng," imbuh dia.
Selain HET, kelangkaan minyak goreng kemasan juga disebabkan oleh masalah distribusi. Sebab, begitu peraturan HET dibatalkan, dalam waktu singkat barang tersedia lagi di pasar.
"Saya tidak ingin menuduh pihak mana pun karena saya tidak punya data. Bisa saja barang memang ditahan oleh distributor, sub distributor, atau agen. Namun, dengan waktu yang begitu singkat barang tersedia di pasar, sangat kecil kemungkinan itu dilakukan oleh produsen," kata dia.
Baca Juga: Beredar Minyak Goreng Merek MinyaKita Palsu, Emak-emak Diminta Waspada
Sebagaimana diketahui, dalam perkara ini, KPPU menduga sebanyak 27 perusahaan minyak goreng kemasan (Terlapor) melakukan pelanggaran Pasal 5 dan Pasal 19 huruf c Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Antimonopoli). Para Terlapor dituduh membuat kesepakatan penetapan harga minyak goreng kemasan pada periode Oktober - Desember 2021 dan periode Maret – Mei 2022, dan membatasi peredaran atau penjualan minyak goreng kemasan pada periode Januari – Mei 2022.