Meski Mesra di Ekonomi, Indonesia dan Malaysia Akan Tegas Hadapi Agresivitas China Jika Langgar Kedaulatan

Iwan Supriyatna Suara.Com
Sabtu, 18 Januari 2025 | 08:18 WIB
Meski Mesra di Ekonomi, Indonesia dan Malaysia Akan Tegas Hadapi Agresivitas China Jika Langgar Kedaulatan
Seminar berjudul “Dancing with the Dragon? Indonesian and Malaysian Policies toward China,” yang diselenggarakan bersama oleh FSI, Paramadina Public Policy Institute (PPPI), dan sebuah think tank asal Malaysia, Bait Al Amanah.

Namun menurutnya, kebijakan ‘menjaga jarak yang sama’ bukan berarti memiliki kejauhan atau kedekatan yang sama dengan kekuatan-kekuatan yang sedang saling berkompetisi. Namun ini berarti menjaga posisi netral sambil mengupayakan kemitraan inklusif namun selektif dengan semua kekuatan dalam berbagai domain (termasuk pertahanan, diplomatik, dan pembangunan). 

Akhirnya, Kuik menyimpulkan bahwa seiring dengan makin meningkatnya kompetisi antar negara-negara kuat, dan makin dalamnya ketidakpastian, mayoritas negara-negara menengah yang berada di tengah negara-negara superpower yang saling bersaing berupaya untuk mempertahankan sikap non-blok mereka melalui strategi keberpihakan yang bersifat beragam (multi-alignment). 

Dilihat dari sudut pandang tersebut, maka bila Indonesia, Malaysia, dan Thailand (atau secara potensi Vietnam) bergabung dengan BRICS, ini bukan berarti bahwa negara-negara ASEAN cenderung makin condong kepada China. Namun, mirip dengan yang dilakukan oleh India, menjadi bagian dari BRICS/BRICS+ bukan merupakan sebuah tindakan memilih blok kekuatan alternatif, tetapi merupakan upaya menggali peluang kerja sama tambahan, mengingat masing-masing negara-negara di atas tetap memperkuat arsitektur ASEAN-Plus dan bahkan mempertahankan partisipasi dalam berbagai institusi baik yang digagas oleh negara-negara Barat maupun institusi-institusi lainnya.  

Sementara itu, Managing Director Paramadina Public Policy Institute (PPPI) Universitas Paramadina, Jakarta, Ahmad Khoirul Umam PhD yang juga merupakan Doktor Ilmu Politik berpandangan bahwa China bukan hanya menghadirkan banyak kesempatan, tetapi juga tantangan, termasuk tekanan dan ancaman. 

Oleh karenanya, Umam menjuluki hubungan Indonesia dengan China sebagai pedang bermata dua.

“China menerapkan apa yang dinamakan sebagai strategi ofensif yang mempesona (charming offensive strategy), tetapi dalam waktu yang tak terduga, China dapat mengubahnya menjadi strategi ofensif yang menghidupkan lonceng tanda bahaya (alarming offensive strategy),” tutur Umam. 

Oleh sebab itu, ia mengimbau agar Indonesia menavigasi hubungannya dengan China secara hati-hati. Secara khusus, Umam mengggarisbawahi pentingnya kehati-hatian itu diterapkan dalam isu terkait ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara, di mana China seringkali melakukan manuver. 

Umam juga menyoroti pentingnya kehadiran ASEAN sebagai sebuah kesatuan untuk menghadapi kekuatan-kekuatan besar, khususnya dalam konteks persaingan antara China dan Amerika Serikat (AS). Sayangnya, menurut Umam, kesatuan ASEAN seringkali menghadapi ujian, khususnya karena ada negara-negara ASEAN yang secara ekonomi sangat bergantung pada China. 

Namun senada dengan Kuik, Umam berpandangan bahwa menjaga jarak yang sama antara berbagai kekuatan besar dunia adalah kunci. Melalui jaga jarak itu, Indonesia dan Malaysia dapat berdansa dengan semua kekuatan besar dan sahabat-sahabat secara bersamaan. 

Baca Juga: Kejaksaan Agung Ajukan Kasasi, Banding Vonis Bebas WNA China Pencuri Emas

Dalam seminar yang dimoderatori oleh dosen Hubungan Internasional Universitas Presiden Muhammad Farid itu, hadir pula seorang pimpinan Bait Al. Amanah, Fikry A. Rahman, untuk memberikan sambutan pembukaan. Dalam sambutannya itu, Rahman menyinggung bahwa dalam berhubungan dengan China, baik Indonesia dan Malaysia perlu tetap mengingat bahwa “tak ada makan siang yang gratis.”

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI