Praktisi Migas Beberkan Fakta Kondisi Lifting Minyak di Indonesia, hingga Disebut Manipulasi

Rabu, 28 Mei 2025 | 08:39 WIB
Praktisi Migas Beberkan Fakta Kondisi Lifting Minyak di Indonesia, hingga Disebut Manipulasi
Ilustrasi kilang minyak. [ANTARA]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Penurunan produksi minyak nasional atau lifting minyak yang terus terjadi di Indonesia memunculkan berbagai pertanyaan dan spekulasi.

Bahkan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menduga ada unsur ketidaksengajaan, agar pemerintah impor minyak mentah.

Namun, Ketua Yayasan Patra Ganesha 10 TM ITB yang juga Praktisi Migas, Hadi Ismoyo menilai, tudingan adanya unsur kesengajaan dalam menahan produksi minyak tidak berdasar.

Menurut dia, semua proses lifting minyak yang dilakukan di dalam negeri sudah dalam perhitungan yang tepat.

"Apakah ada unsur kesengajaan? Para profesional migas di lapangan bekerja atas dasar perhitungan yang berbasis earth science dan engineering," ujar Hadi saat dihubungi Suara.com pada Rabu 28 Mei 2025.

Menurutnya, jadi tidak ada kesengajaan sama sekali untuk tidak melifting minyak sebesar-besarnya.

Dirinya menuturkan, bahwa kapasitas produksi dan lifting harus tetap mematuhi prinsip-prinsip mekanika cadangan atau reservoir dan rencana pelubangan atau depletion plan yang penuh kehati-hatian sesuai kaidah manajemen cadangan.

Hal ini penting agar setiap lapangan migas yang dikembangkan dapat menghasilkan efisiensi hidrokarbon atau ecovery factor yang maksimal.

Lebih lanjut, Hadi menjelaskan beberapa penyebab utama turunnya lifting minyak di Indonesia.

Baca Juga: Menteri Bahlil Sebut Ada 'Udang di Balik Batu' Soal Lifting Minyak yang Terus Turun

Pertama, belum adanya kegiatan eksplorasi yang masif untuk mendapatkan temuan raksasa (giant discovery) sekelas Blok Cepu.

"Dibutuhkan minimal tiga kali temuan sebesar Blok Cepu untuk mempertahankan produksi menuju 1 juta barel per hari," imbuh dia

Kedua, meskipun tampak ada banyak kegiatan eksplorasi, namun sebagian besar hanya didominasi temuan gas.

Akibatnya, kegiatan tersebut belum memberikan kontribusi signifikan terhadap produksi minyak nasional.

Ketiga, sekitar 70 persen lapangan minyak di Indonesia adalah lapangan tua (mature field) dengan rasio air mencapai 80 hingga 90 persen.

"Sehingga walau terjadi banyak aktivitas pemboran, hasilnya tidak signifikan. Hanya cukup untuk mempertahankan agar penurunan produksi secara alami tidak semakin tajam," jelas Hadi.

Melihat kondisi tersebut, Hadi memberikan sejumlah saran strategis bagi pemerintah dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S).

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia saat menyampaikan keterangan seusai menghadiri rapat bersama Presiden Prabowo Subianto di Komplek Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis (17/4/2025). ANTARA/Andi Firdaus/aa.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia saat menyampaikan keterangan seusai menghadiri rapat bersama Presiden Prabowo Subianto di Komplek Istana Kepresidenan Jakarta, belum lama ini. ANTARA/Andi Firdaus/aa.

Ia mendorong dilakukannya eksplorasi secara masif dan agresif di wilayah-wilayah yang sudah direkomendasikan oleh Tim 9 Eksplorasi Kementerian ESDM.

"Paling tidak ada enam wilayah. Dua di antaranya yang sangat potensial untuk giant discovery adalah di Jawa Timur dan Papua," kata dia.

Jika tidak ada minat dari K3S asing, maka Hadi menyarankan agar pemerintah dapat menugaskan Pertamina untuk melakukan eksplorasi di wilayah-wilayah tersebut.

"Karena kondisi sudah dalam tren krisis energi, maka demi ketahanan energi nasional, dukungan pembiayaan bisa dilakukan oleh Danantara kepada Pertamina dengan skema business to business (B2B) dan solusi saling menguntungkan bagi negara dan korporasi," tandasnya.

Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia merasa kurang percaya bahwa angka pengeboran minyak atau lifting di Indonesia terus mengalami penurunan.

Bahkan, dia menduga ada unsur kesengajaan yang dilakukan oleh oknum tertentu agar kinerja lifting minyak terus mengalami penurunan.

Menurut Bahlil, hal tersebut sengaja dilakukan agar Indonesia terus melakukan impor minyak mentah dari luar negeri

Masih menurut Bahlil, sebelum reformasi bergulir di tahun 1998, justru Indonesia yang menjadi raja lifting minyak.

Bahkan, raksasa migas asal Malaysia, Petronas, pada masa itu, justru menyontek perusahaan migas pelat merah tersebut dalam pengelolaan minyak dan gas.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI