Suara.com - Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri padat karya semakin mengkhawatirkan sejak awal tahun 2025 tetapi pengamat kebijakan publik dari PH&H Public Policy Interest Group, Agus Pambagio mengatakan tren ini belum akan berhenti dalam waktu dekat.
Agus menilai bahwa masifnya PHK saat ini tidak lepas dari kondisi ekonomi global dan domestik yang sedang lesu. Ia bahkan memperkirakan bahwa tren PHK ini akan terus berlanjut dalam beberapa bulan ke depan.
"Jangan heran kalau di bulan-bulan ke depan akan banyak industri padat karya lainnya yang akan melakukan PHK," tegas Agus kepada media, Jumat (30/5/2025).
Salah satu contoh adalah penutupan pabrik PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex, yang pada 26 Februari 2025 resmi mengumumkan PHK terhadap 10.660 karyawannya.
PHK besar-besaran ini terjadi setelah PT Sritex dinyatakan pailit demi hukum. Hal ini menyusul putusan Mahkamah Agung yang menolak kasasi perusahaan tersebut dalam perkara Nomor 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Smg.
Sritex, yang selama ini dikenal sebagai salah satu pemain utama industri tekstil nasional, resmi kolaps dan tidak mampu lagi melanjutkan operasionalnya.
Tak hanya Sritex, dua perusahaan besar lainnya, yaitu PT Sanken Indonesia dan PT Yamaha Music, juga mengumumkan rencana penutupan pabrik di Indonesia dan melakukan PHK terhadap ribuan karyawan.
Industri padat karya merupakan sektor yang menyerap banyak tenaga kerja dalam proses produksinya, dibandingkan penggunaan teknologi atau mesin.
Sektor ini menjadi tulang punggung perekonomian nasional dan meliputi industri tekstil, alas kaki, perkebunan (termasuk hasil tembakau), perikanan dan kelautan, kerajinan, konstruksi, serta pariwisata dan perhotelan.
Menurut Agus, industri dalam negeri saat ini tidak mampu berkembang optimal karena banyaknya regulasi yang membatasi (restriktif) dan maraknya pungutan liar, khususnya dalam proses perizinan.
Baca Juga: Karena Ini, 1.500 Karyawan Bank Bakal Kehilangan Pekerjaan
Akibatnya, biaya produksi meningkat, harga barang menjadi tidak kompetitif di pasar ekspor, dan industri hanya bergantung pada pasar domestik.
Dari sisi perlindungan tenaga kerja, Pengamat Ketenagakerjaan Timboel Siregar menekankan pentingnya peran aktif pemerintah dalam mengatasi lonjakan PHK yang melanda industri padat karya.
Ia merujuk pada Pasal 151 Undang-Undang Cipta Kerja yang menegaskan bahwa pengusaha, pekerja, serikat pekerja, dan pemerintah harus mengupayakan agar PHK tidak terjadi.
Bila PHK tidak dapat dihindari, proses tersebut harus dilakukan secara transparan dan sesuai dengan mekanisme yang telah diatur.
"Seharusnya pemerintah pusat dan daerah rutin jemput bola ke perusahaan, untuk menanyakan apa yang menjadi hambatan," tambah Timboel.
Menurutnya, pendekatan proaktif ini penting agar pemerintah bisa mengidentifikasi hambatan yang mengancam keberlangsungan industri padat karya dan mengambil tindakan cepat untuk mengatasinya. Ia juga menekankan perlunya monitoring terhadap kebutuhan investor sebagai langkah mitigasi terhadap potensi PHK.