Suara.com - Polemik tambang di Raja Ampat kembali memantik perdebatan nasional. Sentimen negatif terhadap industri tambang bergema luas, terutama dalam isu lingkungan dan konservasi.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi Mineral dan Batubara (ASPEBINDO) Anggawira, di tengah gejolak ini, penting bagi publik untuk menyadari bahwa Indonesia masih sangat membutuhkan industri pertambangan, bukan hanya sebagai penyumbang devisa, juga sebagai pilar penting menuju transisi energi dan kemandirian ekonomi nasional.
"Kita tidak sedang membicarakan tambang sebagai aktivitas ekonomi konvensional. Kita sedang membicarakan tambang sebagai penopang rantai pasok baterai, kendaraan listrik, energi bersih, dan digitalisasi global. Tanpa nikel dan tembaga dari Indonesia, dunia akan menghadapi kekurangan pasokan untuk teknologi masa depan," kata Anggawira, Senin (9/6/2025).
Anggawira menambahkan, kontribusi sektor ini terjadap perekonomian pun cukup signifikan, yakni 6–7% terhadap PDB nasional, penyerapan ratusan ribu tenaga kerja langsung dan tidak langsung, serta sumbangan PNBP dan royalti yang konsisten meningkat.
Menurutnya, dengan disahkannya UU No. 3 Tahun 2020, Indonesia mempertegas komitmen pengelolaan tambang berbasis kepastian hukum dan nilai tambah.
Pemerintah juga mengatur pelaksanaan kegiatan melalui PP No. 96 Tahun 2021, yang mendorong hilirisasi, pengawasan lingkungan, dan pelibatan masyarakat.
"Namun tantangan utama bukan lagi pada regulasi, melainkan pada penegakan, konsistensi, dan transparansi. Di sinilah pemerintah dan pelaku industri perlu terus mendorong perbaikan," ujarnya.
Di sisi lain, menurutnya berbagai perusahaan tambang di Indonesia telah membuktikan bahwa operasi tambang dapat berjalan beriringan dengan kelestarian lingkungan dan pengembangan masyarakat.
Indonesia, negara kepulauan yang kaya akan sumber daya alam, kini menjadi sorotan dunia berkat cadangan nikelnya yang melimpah.
Baca Juga: Selain Pulau Gag, Kementerian ESDM akan Periksa Pertambangan Nikel Lain di Kepulauan Raja Ampat
Nikel, logam yang tahan korosi dan memiliki sifat magnetik, menjadi krusial dalam industri baja tahan karat dan, yang lebih penting lagi, baterai kendaraan listrik (EV).
Ledakan permintaan EV global telah mendorong Indonesia ke garis depan sebagai produsen nikel utama. Potensi ekonomi dari tambang nikel sangat signifikan.
Investasi asing dan domestik mengalir deras, menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan daerah.
Pemerintah Indonesia pun gencar mempromosikan hilirisasi industri nikel, yaitu memproses nikel mentah menjadi produk bernilai tambah seperti baterai EV di dalam negeri.
Langkah ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara dan mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan mentah. Namun, ekspansi industri nikel juga menghadirkan tantangan.
Salah satu isu utama adalah dampak lingkungan. Pertambangan nikel seringkali melibatkan pembukaan lahan besar-besaran, yang dapat menyebabkan deforestasi, erosi tanah, dan pencemaran air.