Suara.com - Badan Pusat Statistik (BPS) menegaskan bahwa perbedaan angka kemiskinan antara versi pemerintah Indonesia dan Bank Dunia bukan disebabkan kesalahan, melainkan karena perbedaan metode penghitungan yang digunakan masing-masing lembaga.
Hal ini disampaikan Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono, menanggapi laporan Bank Dunia yang menyebut jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 194,6 juta jiwa atau sekitar 70 persen populasi.
Ateng menjelaskan bahwa BPS mengukur kemiskinan berdasarkan basic need approach atau pendekatan kebutuhan dasar, yang meliputi dua komponen utama yaitu pengeluaran untuk makanan dan pengeluaran non-makanan.
"Ini adalah basic need method dengan kita mengukur pengeluarannya dari pengeluaran makanan dan pengeluaran yang non-makanan," kata Ateng kepada suara.com, ditemui di Kantor Kemensos, Jakarta, Rabu (18/6/2025).
Ia menambahkan, pendekatan ini bertujuan mengidentifikasi masyarakat yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar mereka dalam kehidupan sehari-hari.
Lebih lanjut, Ateng menjelaskan bahwa penghitungan kemiskinan nasional oleh BPS juga dilakukan sesuai konteks sosial-ekonomi masyarakat Indonesia, karena hal itu akan berkaitan dengan strategi pemerintah dalam menentukan cara pengentasan kemiskinan.
"Nanti yang menarik kalau kemiskinan ya teman-teman melihat karakteristiknya aja. Kemiskinan itu adanya di kelapangan usaha apa, pendidikannya apa, sehingga otomatis kita akan bisa (menentukan cara) untuk mengentaskannya pemerintah tentunya," tuturnya.
Hal tersebut berbeda dengan pendekatan yang digunakan Bank Dunia karena lebih bersifat global.
"Kalau Bank Dunia menggunakan paritas daya beli dan tujuannya untuk compare di internasional juga. Kalau di masing-masing negara kan masing-masing ada yang mengukur kemiskinan nasional di situ," pungkasnya.
Baca Juga: Ekonom Indef Sarankan Gojek Jadi Koperasi Kota untuk Atasi Kemiskinan
Sementara itu, World Bank atau Bank Dunia mencatat kalau jumlah angka kemiskinan di Indonesia telah melonjak drastis hingga menyentuh angka 194,6 juta jiwa. Hal ini berdasarkan laporan bertajuk "June 2025 Update to the Poverty and Inequality Platform" secara resmi mengubah standar garis kemiskinan global.
Bank Dunia selama ini menggunakan indikator kemiskinan global berdasarkan paritas daya beli (Purchasing Power Parity/PPP), dengan ambang batas sekitar US$2,15 per hari per orang. Standar ini dirancang untuk memungkinkan perbandingan lintas negara.
Sebelumnya, Menteri Sosial Saifullah Yusuf atau Gus Ipul juga telah merespons laporan Bank Dunia tersebut. Ia meminta publik tetap merujuk pada data resmi dari BPS, sembari menjelaskan bahwa perbedaan angka muncul akibat perbedaan metode pengukuran.
"Ya beda ukuran aja mungkin. Kita lihat itu BPS nanti ya," kata Gus Ipul kepada wartawan, ditemui usai menghadiri pembukaan acara retret Kepala Sekolah Rakyat di Jakarta Selatan, Selasa (17/6/2025).
Data yang disusun pemerintah RI melalui BPS mencatat kalau angka masyarakat miskin di Indonesia sebanyak 24 juta jiwa atau 8,57 persen dari total penduduk Indonesia. Angka itu berdasarkan perhitungan terbaru dari BPS yang disusun dalam Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) yang dipetakan pada 2025.
Indikator DTSEN itu memetakan jumlah masyarakat miskin dilihat dari pengeluaran per bulan per kapita sebesar Rp 600.000.