Hilirisasi di Indonesia Timur: Peran Strategis dan Tantangan Keberlanjutan Industri Nikel

M Nurhadi Suara.Com
Selasa, 02 September 2025 | 19:21 WIB
Hilirisasi di Indonesia Timur: Peran Strategis dan Tantangan Keberlanjutan Industri Nikel
Harita Nickel secara sukarela mengajukan diri untuk menjalani proses audit oleh lembaga audit independen IRMA.

Suara.com - Di tengah gegap gempita transisi energi global, nikel Indonesia terus bertransformasi sebagai 'emas hijau' yang menjanjikan di masa depan. Sebagai produsen terbesar dunia, Indonesia tidak lagi puas hanya menjadi pemasok bahan mentah.

Ambisi besar program hilirisasi, mengolah nikel dari bijih mentah menjadi produk bernilai tambah tinggi seperti bahan baku baterai kendaraan listrik dan pemenuhan kebutuhan industri, seperti stainless steel kini menjadi agenda utama pembangunan nasional.

Fokus dari revolusi industri ini secara signifikan tertuju pada kawasan timur Indonesia, wilayah yang kaya akan cadangan nikel namun secara historis tertinggal dalam pembangunan ekonomi.

Pulau Obi di Halmahera Selatan, Maluku Utara, kini menjadi salah satu episentrum utama dari denyut nadi hilirisasi ini, yang ditandai dengan investasi masif mengubah lanskap ekonomi dan sosial secara drastis.

Salah satu yang berkontribusi di bidang ini, yakni Harita Nickel yang kini tidak hanya membangun fasilitas pengolahan canggih, tetapi juga menghadapi tantangan kompleks seputar keberlanjutan dan kesejahteraan masyarakat.

Sebelum investasi hilirisasi masuk secara masif, Maluku Utara adalah provinsi dengan laju ekonomi yang cenderung stagnan.

Namun, data Badan Pusat Statistik (BPS) menjadi bukti transformasi ini. Dalam beberapa tahun terakhir, Maluku Utara secara konsisten mencatatkan pertumbuhan ekonomi tertinggi di Indonesia, bahkan pernah meroket hingga di atas 20%, angka yang ditopang secara dominan oleh industri pengolahan logam.

Sementara, merujuk pada laporan perekonomian Provinsi Maluku Utara dari Bank Indonesia, ekonomi di Malut pada kuartal IV/2024 tumbuh hingga 27,27% year-on-year (YoY), meningkat jika dibandingkan periode yang sama sebelumnya yang tumbuh sebesar 4,42% YoY.

Pada Kuartal IV 2024 lalu, Maluku Utara juga menjadi provinsi dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di Indonesia, didukung oleh industri pengolahan dan pertambangan.

Baca Juga: IRMA Jadi Modal Harita Nickel Genggam Pasar Global

Tingkat pengangguran terbuka di wilayah ini pun menunjukkan tren penurunan seiring masifnya penyerapan tenaga kerja.

Berdasarkan data BPS, penduduk bekerja di Maluku Utara pada Agustus 2024 tercatat sebanyak 661,49 ribu orang. Jumlah tersebut naik sebanyak 26,8 ribu orang dibandingkan Agustus 2023 (634,70 ribu orang).

Jika dirinci, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) pada Agustus 2024 naik sebesar 1,36 persen poin menjadi 69,13 dibandingkan TPAK Agustus 2023 (67,77 persen). Sedangkan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada Agustus 2024 tercatat sebesar 4,03 persen, turun sebesar 0,28 persen poin dibandingkan TPT Agustus 2023 (4,31 persen).

Harita Nickel menjadi salah satu motor penggerak utama di balik angka-angka impresif tersebut. Dengan investasi triliunan rupiah, perusahaan ini membangun fasilitas pengolahan nikel limonit (kadar rendah) menggunakan teknologi canggih High Pressure Acid Leaching (HPAL).

Teknologi hidrometalurgi ini mampu menghasilkan Mixed Hydroxide Precipitate (MHP), produk antara yang menjadi bahan baku krusial untuk katoda baterai kendaraan listrik.

Kehadiran smelter ini menciptakan nilai tambah yang luar biasa. Jika sebelumnya nikel kadar rendah ini sama sekali tidak dimanfaatkan dan dianggap overburden.

Namun, kini nikel kadar rendah menjadi produk strategis yang menarik di pasar global, membuat Indonesia Timur, khususnya Pulau Obi, diperhitungkan dalam peta rantai pasok baterai dunia.

Tidak hanya High Pressure Acid Leaching (HPAL), Harita Nickel juga menggunakan Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) sebagai metode utama pengolahan nikel.

RKEF adalah metode yang sering dipakai untuk mengolah bijih nikel berkadar tinggi (bijih nikel saprolit).

Cara kerjanya, memanfaatkan panas tinggi untuk mengubah bijih nikel menjadi feronikel, yang kemudian digunakan dalam pembuatan baja tahan karat (stainless steel).

Sebagai informasi, saat ini, Harita Nickel memiliki 12 jalur produksi RKEF dengan kapasitas mencapai 120.000 ton nikel per tahun.

Paradoks Pertumbuhan: Kuantitas vs Kualitas Kesejahteraan

Di balik kisah sukses pertumbuhan ekonomi, muncul tantangan yang tidak bisa diabaikan.

Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, menyoroti sebuah paradoks penting.

“Kita sudah menguasai secara kuantitas proses produksi nikel secara global. Tapi saat ini bukan lagi bicara kuantitas, melainkan bagaimana menciptakan value,” ujar Meidy dalam sebuah forum di Jakarta, beberapa saat lalu.

Menurut Meidy, nilai tambah tidak boleh hanya berhenti pada peningkatan pendapatan negara, tetapi harus berdampak langsung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar tambang.

Ia menyayangkan, meski Produk Domestik Bruto (PDB) di daerah penghasil nikel meningkat, daya beli masyarakat justru terkadang mengalami penurunan.

“Ini yang menjadi perhatian kita bersama. Masyarakat harus ikut naik kelas, bukan hanya sektor industrinya saja,” tambahnya.

Menjawab tantangan ini, APNI kini tengah fokus menyelaraskan standar keberlanjutan lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) yang relevan dengan kondisi lokal namun tetap diakui pasar global.

“Kita sudah mengkombinasi antara standar internasional seperti IRMA, Nickel Institute, dan RMI dengan regulasi Indonesia. Ini bukan hal mudah, terutama karena tantangan budaya dan tenaga kerja,” jelas Meidy.

Terkait IRMA, ia bahkan sempat menyinggung standar ini tidak main-main. "17 tahun IRMA berdiri, baru berapa perusahaan yang bisa masuk. Dan itu belum certified, masih audit," ujar Meidy.

Sebagai contoh, IRMA menetapkan setidaknya 400 daftar aspek ESG yang harus dipenuhi perusahaan agar memenuhi kriteria.
Ditambah, dua standar global yang semakin mendapatkan sorotan adalah Inisiatif Jaminan Pertambangan Bertanggung Jawab (IRMA) dan Inisiatif Mineral Bertanggung Jawab (RMI).

Meskipun sama-sama bertujuan mendorong keberlanjutan dan etika dalam rantai pasok mineral, keduanya memiliki fokus dan pendekatan yang berbeda.

IRMA (Initiative for Responsible Mining Assurance) adalah sebuah skema sertifikasi yang komprehensif. Tujuannya adalah untuk memberikan jaminan independen kepada para pembeli mineral, investor, dan masyarakat umum bahwa sebuah operasi pertambangan telah memenuhi standar ketat dalam hal lingkungan, sosial, dan tata kelola.

Audit IRMA mencakup 22 aspek kinerja yang luas, mulai dari pengelolaan air dan limbah, hak asasi manusia, hingga keterlibatan masyarakat adat.

Prosesnya melibatkan audit pihak ketiga yang ketat, dengan hasil yang dipublikasikan secara transparan, memungkinkan setiap pihak untuk melihat skor dan status kepatuhan suatu perusahaan. IRMA lebih berfokus pada audit di tingkat tambang itu sendiri.

Sedangkan Responsible Minerals Initiative (RMI), khususnya melalui program Responsible Minerals Assurance Process (RMAP), berfokus pada jaminan integritas rantai pasok. RMI RMAP dirancang untuk membantu perusahaan menghindari mineral dari sumber yang berisiko tinggi atau dari zona konflik.

Alih-alih menilai kinerja keseluruhan tambang seperti IRMA, RMI RMAP lebih fokus pada audit di tingkat peleburan atau pemurnian mineral.

Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa mineral yang digunakan, seperti nikel, timah, atau kobalt, tidak berasal dari sumber yang mendanai konflik atau melanggar hak asasi manusia. Proses audit RMAP juga dilakukan oleh pihak ketiga dan menuntut transparansi dalam pelacakan asal-usul mineral.

Mengadopsi standar-standar ketat seperti IRMA dan RMI bukan hanya menunjukkan kepatuhan, melainkan sebuah investasi jangka panjang dalam reputasi dan keberlanjutan bisnis.

Saat ini, hanya dua perusahaan pertambangan di Indonesia yang diketahui sedang menjalani proses sertifikasi IRMA, menunjukkan komitmen mereka untuk memenuhi tuntutan pasar global. Salah satunya adalah Harita Nickel, yang kini berada di Fase 2 dari proses sertifikasi IRMA. Fase ini melibatkan evaluasi yang lebih mendalam terhadap praktik-praktik operasional perusahaan.

Sementara itu, Vale, yang juga beroperasi di Indonesia, juga sudah memulai prosesnya di Fase 1. Fase awal ini biasanya mencakup evaluasi mandiri dan persiapan untuk audit yang lebih intensif.

Langkah yang diambil oleh Harita Nickel dan Vale ini bukan hanya menjadi preseden bagi industri pertambangan di Indonesia, tetapi juga menegaskan bahwa perusahaan-perusahaan nasional mampu bersaing dan memenuhi standar etika serta keberlanjutan yang paling ketat di dunia.

Upaya ini menunjukkan keseriusan dalam menciptakan industri pertambangan yang tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga bertanggung jawab secara sosial dan lingkungan.

Di tengah berbagai tantangan lingkungan ini, Harita Nickel terus bertransformasi dengan berbagai inovasi dan berupaya menerapkan praktik pertambangan yang lebih bertanggung jawab.

Salah satu komitmen utamanya adalah dalam pengelolaan sisa hasil pengolahan (waste management). Dibandingkan menggunakan metode pembuangan ke laut dalam (DSTP) yang kontroversial, perusahaan berkomitmen pada lingkungan dan menjadi salah satu yang pertama di Indonesia yang menerapkan teknologi Dry Stack Tailing Facility.

Metode ini mengolah sisa hasil pengolahan menjadi padatan kering yang lebih stabil dan disimpan di fasilitas penampungan khusus yang aman.

Di sisi sosial, program pemberdayaan masyarakat (CSR) difokuskan pada peningkatan kualitas pendidikan, kesehatan, dan kemandirian ekonomi lokal di sekitar Pulau Obi.

Ribuan tenaga kerja lokal telah terserap, menciptakan efek ganda bagi perekonomian desa-desa di sekitarnya. Upaya rehabilitasi lahan pasca-tambang juga terus dilakukan sebagai bagian dari komitmen untuk meminimalkan jejak ekologis.

Tantangan lain datang dari pasar global. Ketua Forum Industri Nikel Indonesia (FINI), Arif Perdana Kusumah, mengakui bahwa industri saat ini sedang menghadapi tekanan harga akibat kelebihan pasokan global. Sejak 2020, harga nikel di London Metal Exchange (LME) telah anjlok hingga 46%.

“Untuk proyek besar, margin masih memungkinkan meski tidak setinggi sebelumnya. Namun, beberapa proyek, terutama perusahaan kecil, mulai menghadapi margin negatif,” jelas Arif saat berlangsungnya International Battery Summit (IBS) 2025, Selasa (5/8/2025).

Meski begitu, ia optimis nikel tetap menjadi bahan baku unggulan untuk baterai karena keunggulan kinerjanya.

Menurutnya, dukungan kebijakan pemerintah yang tepat, seperti penyesuaian harga listrik dan insentif fiskal, akan sangat menentukan keberlanjutan hilirisasi.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI

Ingin dapat update berita terbaru langsung di browser Anda?