Suara.com - Di Gunungkidul, Yogyakarta, kekeringan sudah lama dianggap takdir. Tidak adanya sumber mata air, membuat beberapa desa bergantung sepenuhnya pada air hujan. Setiap musim kemarau, sumur mengering, tanaman mati, dan banyak petani memilih pergi ke kota menjadi buruh bangunan.
“Kalau tidak ada air, hidup berhenti,” ujar seorang warga mengingat masa itu.
Namun kelompok tani di Dusun Kedungkeris menolak menyerah. Bersama Yakkum Emergency Unit (YEU), sebuah organisasi kemanusiaan yang kini aktif dalam inisiasi adaptasi iklim, mereka membangun sistem sederhana untuk menampung hujan dan menyalurkannya kembali ke ladang melalui pipa-pipa bertekanan rendah yang diatur teknologi IoT. Mengandalkan gravitasi, panel surya, dan sensor murah yang mereka rakit sendiri, sistem ini berjalan tanpa pompa listrik.
Kini enam tandon besar berdiri di puncak bukit, menampung ribuan liter air setiap musim hujan. Dari situ, sprinkler kecil memercikkan embun buatan yang menghidupkan lahan di bawahnya. Ladang yang dulu gersang kini hijau sepanjang tahun. Panen meningkat, anak-anak muda kembali bertani. Bagi mereka, menampung hujan bukan hanya urusan teknologi, tapi juga soal martabat dan kemampuan untuk bertahan di tanah sendiri.
Dari tanah kering di selatan Jawa, kita bergeser ke jantung Kalimantan Barat, tempat hutan hujan yang dulu penuh suara burung pernah nyaris hilang.
Selama bertahun-tahun, warga di sekitar Taman Nasional Gunung Palung menebang kayu bukan karena tamak, tetapi karena terpaksa. Harga berobat di klinik jauh lebih tinggi daripada harga satu batang pohon. Pada 2007, Alam Sehat Lestari (ASRI) membawa ide yang tampak sederhana tapi revolusioner: siapa pun bisa berobat, dan pembayaran bisa dilakukan dengan bibit pohon. Setiap pasien yang menanam berarti satu langkah menjauh dari penebangan liar.
Kini, setelah lebih dari satu dekade, penebangan ilegal menurun hingga 90 persen. Ratusan hektar hutan kembali hijau, dan penghuninya seperi Orang Utan dan Beruang Madu, yang sempat hilang perlahan kembali. ASRI menyebutnya planetary health: ketika hutan yang sembuh turut menyembuhkan manusia.
“Dulu kami menebang untuk hidup,” kata seorang warga dalam salah satu lokakarya ASRI, “sekarang kami menanam untuk masa depan anak kami.”
Jika ASRI memulihkan hubungan antara manusia dan hutan, Dari Bekasi, Jawa Barat, Gringgo Indonesia menantang sesuatu yang bahkan lebih tabu: tinja. Di Bekasi, mereka melihat tumpukan limbah domestik yang selama ini dianggap masalah, dan bertanya: mengapa tidak dijadikan sumber energi? Dari pertanyaan itu lahir Biocore, inovasi yang mengubah lumpur tinja menjadi briket bahan bakar bersih.
Baca Juga: BCA Syariah Dorong Pemberdayaan UMKM Lewat Semangat Keberagaman di Bali Mester
Pabrik mini mereka ditempatkan dekat instalasi pengolahan limbah agar biaya logistik rendah dan produksi bisa dikontrol secara digital. Dengan sensor IoT, mereka memantau suhu dan tekanan pembakaran, menghasilkan briket dengan emisi karbon lebih rendah daripada batu bara maupun kayu.
“Masalahnya bukan di teknologi,” ujar Febriadi Pratama salah satu pendiri Gringgo Indonesia, “tapi di cara kita memandang kotoran. Kalau cara pandang bisa diubah, nilainya ikut berubah.” Dari sesuatu yang menjijikkan lahir bahan bakar bersih; dari yang dibuang, tercipta kehidupan baru.
Imajinasi dan Investasi Hijau
Mengambil cerita dari tiga Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Bekasi, Yogyakarta, dan Kalimantan, kita dapat melihat bagaimana hujan, hutan, dan bahkan tinja dapat membantu mengatasi permasalahan iklim.
Pendekatan seperti yang dilakukan YEU, ASRI, dan Gringgo – yang berangkat dari keberanian membayangkan ulang relasi manusia dan alam – sering kali tidak mendapat tempat dalam sistem pembiayaan iklim yang kaku. Investasi hijau besar masih lebih suka membangun pembangkit atau kawasan industri, bukan menanam gagasan di tingkat akar rumput. Padahal justru di sanalah daya tahan dan inovasi tumbuh di antara masyarakat yang bertemu langsung dengan krisis air, udara, dan tanah.
Indonesia Sustainibility Forum 2025 menegaskan upaya pemerintah untuk merealisasikan potensi investasi hijau sebesar USD 200 miliar hingga 2030. Filantropi dapat menyalakan percikan di tempat yang belum dijangkau pasar, membiayai risiko yang terlalu kecil untuk investasi hijau, tetapi terlalu besar untuk diabaikan.