- Pengamat AEPI, Khudori, menilai penjarahan beras di Sibolga dipicu situasi darurat akibat bencana yang menghambat logistik bantuan.
- Prosedur penyaluran Cadangan Pangan Pemerintah (CPP) baru dianggap terlalu birokratis dan memperlambat distribusi saat darurat.
- Pemerintah harus mengevaluasi dan menyederhanakan mekanisme penyaluran pangan darurat agar lebih responsif terhadap bencana.
Suara.com - Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori, menilai aksi penjarahan beras di Gudang Bulog Sarudik, Kota Sibolga, Sumatra Utara, tidak bisa sepenuhnya disalahkan kepada warga.
Ia menyebut, situasi darurat yang tidak ditangani cepat adalah pemicu utama terjadinya penjarahan.
Khudori menjelaskan, bencana banjir dan longsor yang melanda wilayah itu telah memutus akses logistik sehingga bantuan terlambat datang.
Dalam situasi seperti itu, katanya, masyarakat hanya berusaha memenuhi kebutuhan paling dasar.
“Kalau kebutuhan dasar itu tidak segera tersedia dan disediakan, bisa terjadi penjarahan seperti kali ini. Warga tak bisa disalahkan,” ujar Khudori kepada wartawan, Minggu (30/11/2025).
Ia menilai, kondisi ini harus menjadi alarm bagi pemerintah, mengingat Indonesia secara geografis adalah negara dengan risiko bencana tinggi.
“Bencana banjir dan longsor kali ini, untuk kesekian kalinya, menyadarkan otoritas yang berkuasa untuk menyiapkan segala sesuatunya dengan baik,” kata Khudori.
“Terbukti kali ini otoritas yang berkuasa tampak kewalahan menghadapi situasi lapangan,” tegasnya.
Khudori menilai, seharusnya mekanisme penyaluran cadangan pangan pemerintah (CPP) bisa diaktifkan secara cepat untuk kebutuhan darurat.
Baca Juga: Pemerintah Tak Perlu Buru-buru soal Tudingan Impor Beras Ilegal di Sabang
Dalam aturan Badan Pangan Nasional (Bapanas) Nomor 30/2023, terdapat sembilan komoditas pangan yang bisa digerakkan untuk bencana.
“Masalahnya, prosedur penyaluran untuk bencana dan keadaan darurat dalam Peraturan Bapanas ini terbilang cukup panjang. Kental nuansa birokratisnya,” ujar dia.
Ia membandingkan mekanisme saat ini dengan aturan sebelumnya yang dinilai lebih sederhana.
Pada aturan lama, kepala daerah dapat langsung mengajukan permohonan kepada Bulog untuk mengeluarkan cadangan beras pemerintah (CBP) tanpa melalui rangkaian proses panjang. Menurutnya, sistem baru justru memperlambat bantuan.
“Diduga, prosedur birokratis ini memperlambat penyaluran CBP ke warga,” tegasnya.
Khudori menguraikan Kembali, bagaimana mekanisme yang ada saat ini mengharuskan kepala daerah mengajukan permohonan ke Kepala Bapanas, yang kemudian harus menganalisis permohonan tersebut sebelum memerintahkan Bulog.
Bahkan, sebelum Bulog menjalankan perintah, Bapanas harus mendapatkan persetujuan dari RUPS atau Menteri BUMN. Ia menyebut alur ini tidak ideal dalam kondisi darurat.

Ia juga menyinggung pengalaman penanganan tsunami Aceh 2004 dan gempa Yogyakarta 2006 yang menunjukkan fleksibilitas prosedur dapat menyelamatkan banyak nyawa.
“Otoritas berwenang hanya menuliskan permintaan CBP ke BULOG di kardus mi instan. Yang penting, ada yang mencatat baik-baik,” lanjutnya.
Menurutnya, keterlambatan distribusi bantuan pangan bukan hanya memicu penjarahan, tetapi juga bisa mengancam keselamatan korban.
“Keterlambatan penyaluran bantuan, baik pangan, minuman maupun logistik lain, tidak saja bisa berujung penjarahan tapi juga mengancam keselamatan warga,” katanya.
Khudori mendorong pemerintah menjadikan kejadian ini sebagai momentum evaluasi. Ia menilai prosedur penyaluran CPP perlu disederhanakan tanpa mengabaikan akuntabilitas.
“Mekanisme yang panjang dan prosedur yang kental nuansa birokratis harus dihindari,” pungkasnya.