Mulai Tahun Depan Nasabah Asuransi Kesehatan Ikut Bayar Klaim, Siapa Untung?

Tim Liputan Bisnis Suara.Com
Senin, 08 Desember 2025 | 16:21 WIB
Mulai Tahun Depan Nasabah Asuransi Kesehatan Ikut Bayar Klaim, Siapa Untung?
Mulai 2026 klaim biaya asuransi kesehatan bisa tidak mencapai 100 persen dengan adanya skema risk sharing yang telah disepakati oleh OJK dan DPR. Foto: Ilustrasi asuransi kesehatan (Freepik)
Baca 10 detik
  • OJK dan DPR sepakat terapkan skema risk sharing asuransi kesehatan swasta yang mewajibkan peserta bayar minimal 5 persen klaim mulai Januari 2026.
  • Aturan baru ini akan diatur dalam Peraturan OJK (POJK) untuk memastikan penggunaan layanan kesehatan terukur dan berkelanjutan.
  • Skema pembagian risiko ini bersifat opsional dan bertujuan menekan kenaikan premi akibat tingginya rasio klaim industri.

"Rancangan POJK tentang Penguatan Ekosistem Asuransi Kesehatan sudah beberapa kali dibahas dengan Kementerian Hukum, dan kami menunggu proses harmonisasinya lebih lanjut," lanjut Mahendra.

Perubahan aturan OJK tentang skema risk sharing atau co-payment asuransi kesehatan yang rencananya berlaku pada 2026. [Suara.com/Liberty Jemadu]
Perubahan aturan OJK tentang skema risk sharing atau co-payment asuransi kesehatan yang rencananya berlaku pada 2026. [Suara.com/Liberty Jemadu]


Pro dan Kontra

Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia Prof Dr Budi Frensidy menilai skema co-payment atau risk sharing penting bagi industri asuransi dan akan menguntungkan nasabah. Dalam kajiannya, ia mengungkapkan rasio klaim asuransi kesehatan di Indonesia sudah jauh melampaui premi yang dibayarkan, yakni mencapai 131,2 persen pada 2023 dan 121,9 persen pada 2024.

Angka ini menunjukkan perusahaan asuransi secara kotor mengalami kerugian signifikan dari produk kesehatan yang mereka jual. Jika kondisi ini terus berlanjut, keberlangsungan industri asuransi jiwa (yang sering menjual produk kesehatan) terancam, yang berdampak pada stabilitas sektor keuangan.

Ia menilai aturan baru ini didasari oleh fakta bahwa tanpa pembagian risiko, perusahaan asuransi akan terus menaikkan premi secara drastis (kenaikan rata-rata premi bahkan mencapai 43 persen pada tahun lalu) agar tidak merugi.

Karenanya skema risk sharing harus dipandang sebagai bentuk kontrol untuk mengatasi moral hazard pemegang polis, pekerja medis, dan rumah sakit.

"(Dari sisi pasien), moral hazard penggunaan asuransi tidak bijak, seperti terjadinya overklaim, terutama untuk rawat jalan. Dari sisi pekerja medis atau rumah sakit, sembarangan membebankan obat atau sengaja menambah rawat inap tidak dibutuhkan pasien," ujarnya.

Tujuan akhirnya adalah agar kenaikan premi tahunan yang sangat tinggi dapat dihindari, sehingga premi asuransi kesehatan komersial tetap murah dan terjangkau bagi masyarakat.

"Dalam kondisi ekonomi sulit seperti saat ini, konsumen harus ikut menanggung biaya medis tentu memberatkan. Tetapi tanpa skema ini, premi asuransi yang naik tinggi dari tahun ke tahun akan menyebabkan asuransi kesehatan komersial semakin tidak terjangkau. Sehingga masyarakat hanya dapat bertumpu pada Jaminan Kesehatan Nasional dari Badan Penyelenggara Jaminan (BPJS) Kesehatan. Ini, pada akhirnya akan semakin memberatkan BPJS dan juga pemerintah," lanjutnya.

Baca Juga: OJK: Industri Asuransi Dilarang Naikkan Tarif Premi Tanpa Izin Nasabah

OJK dan DPR sepakat memberlakukan opsi risk sharing atau pembagian risiko asuransi kesehatan mulai 2026 mendatang. Dalam skema ini ada opsi nasabah turut membayar klaim kesehatan di rumah sakit atau fasilitas medis lainnya. [Suara.com/Liberty Jemadu]
OJK dan DPR sepakat memberlakukan opsi risk sharing atau pembagian risiko asuransi kesehatan mulai 2026 mendatang. Dalam skema ini ada opsi nasabah turut membayar klaim kesehatan di rumah sakit atau fasilitas medis lainnya. [Suara.com/Liberty Jemadu]

Sementara Ketua Umum Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Budi Herawan mengatakan risk sharing yang digodok OJK sifatnya tidak memaksa, melainkan mewajibkan perusahaan menyediakan pilihan produk tanpa pembagian risiko, sekaligus memberi ruang bagi produk yang menggunakan fitur risk sharing atau deductible.

"Selain itu istilah risk sharing ini juga ada di beberapa negara seperti Jepang, Singapura dan Jerman. Jepang misalnya menetapkan co-payment sekitar 30 persen bagi mayoritas peserta jaminan kesehatan, dengan plafon perlindungan biaya untuk kasus besar," lanjut dia.

Sedangkan, Singapura menggunakan kombinasi deductible dan co-insurance melalui MediShield Life dan Integrated Shield Plan, dengan aturan minimal co-payment 5 persen yang diatur Kementerian Kesehatan.

"Yang paling penting ke depan adalah edukasi publik supaya skema ini dipahami bukan sebagai pengalihan beban, tetapi sebagai cara menjaga keberlanjutan manfaat kesehatan, mencegah moral hazard, dan tetap memastikan perlindungan bagi kelompok rentan melalui pengecualian yang sudah ditetapkan regulator," tandasnya.

Meski demikian menurut Tulus Abadi dari Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI), konsumen atau nasabah akan dirugikan oleh aturan ini. Tulus dalam keterangannya mengatakan moral hazard dalam industri asuransi tidak hanya datang dari nasabah tapi juga penyedia jasa medis dan perusahaan asuransi itu sendiri.

Karenanya ia menilai, skema risk sharing hanya akan semakin memberatkan nasabah asuransi kesehatan.

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI