- Kinerja industri pengolahan nasional tertekan akibat kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat dan gejolak geopolitik Timur Tengah.
- Indeks Kepercayaan Industri (IKI) Desember 2025 melambat ke 51,90 karena tekanan dari faktor eksternal tersebut.
- Tarif AS dan konflik geopolitik memengaruhi pasokan bahan baku impor serta kinerja ekspor manufaktur Indonesia.
Suara.com - Kementerian Perindustrian menilai kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat (AS) hingga gejolak geopolitik di Timur Tengah ikut memengaruhi aktivitas industri dalam negeri.
Hal ini, membuat kinerja industri pengolahan nasional mendapat tekanan.
Tekanan tersebut tercermin dari pergerakan Indeks Kepercayaan Industri (IKI) Desember 2025 yang melambat ke level 51,90. Meski masih berada di zona ekspansi, laju IKI tercatat turun dibandingkan bulan-bulan sebelumnya.
Juru Bicara Kementerian Perindustrian Febri Hendri Antoni Arief mengatakan, penurunan IKI tidak lepas dari dinamika eksternal yang membayangi sektor industri manufaktur nasional.

"Selain karena banjir produk impor di pasar domestik juga karena tarif Trump dan perang Iran–Israel," ujarnya dalam rilis Indeks Kepercayaan Industri Desember 2025, dikutip Rabu (31/12/2025).
Febri menjelaskan, kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat saat itu memberi tekanan cukup besar terhadap industri, terutama dari sisi pasokan bahan baku dan kinerja ekspor.
"Tarif Trump waktu itu cukup membuat industri tertekan pada sisi suplai bahan baku dan juga pada sisi ekspor," ucap Febri.
Menurut dia, tekanan tersebut membuat pelaku industri berada dalam posisi tidak nyaman untuk melakukan ekspansi agresif, khususnya pada periode tertentu di 2025.
"Itu membuat industri agak sedikit gamang," jelas Febri.
Baca Juga: Di Tengah Isu Batalnya Kesepakatan Trump, Progres Impor Migas dari AS Masih Gantung
Febri menyebut, dampak tarif Amerika Serikat tidak berdiri sendiri. Pada periode yang sama, kondisi geopolitik global juga ikut memengaruhi sentimen industri.
"Yang ketiga itu karena gejolak politik, terutama di Timur Tengah yang mempengaruhi harga energi, nilai tukar," katanya.
Febri menilai, konflik geopolitik tersebut berimbas langsung pada biaya produksi industri melalui kenaikan harga energi serta tekanan terhadap nilai tukar rupiah.
Kondisi itu kemudian berdampak pada kelancaran rantai pasok industri nasional, khususnya yang bergantung pada bahan baku impor.
"Sehingga membuat bahan baku dari luar negeri impor itu sedikit tertekan," ungkap Febri.
Tidak hanya pada sisi hulu, tekanan global juga dirasakan pada pengiriman produk ekspor manufaktur Indonesia ke pasar internasional. "Dan juga pada pengiriman produk ekspor manufaktur Indonesia," imbuh Febri.