Suara.com - Ketika pelaku-pelaku usaha dituntut untuk membayar, ternyata pemerintah tak pernah memenuhi kewajiban pembayaran royalti atas lagu-lagu yang dipakai untuk acara-acara besar.
Bahkan, ironi tersebut telah berlangsung selama puluhan tahun.
Pemerintah, sebagai penyelenggara sekaligus pembuat undang-undang, dituding tidak pernah membayar sepeser pun royalti kepada para pencipta lagu yang karyanya digunakan.
Kritik tajam ini dilontarkan langsung oleh sosok yang sangat dihormati di industri musik Tanah Air, Hein Enteng Tanamal.
Sebagai musisi senior sekaligus pendiri Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) pertama di Indonesia, Karya Cipta Indonesia (KCI), pernyataannya membuka tabir kelam yang selama ini jarang tersentuh.
Menurutnya, praktik ini adalah bentuk pengabaian nyata terhadap hak para seniman.
Hein memberikan contoh konkret yang mudah dipahami publik: pertandingan sepak bola yang digelar oleh Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia atau PSSI.
Dalam setiap laga, puluhan ribu penonton hadir, tiket terjual habis, dan lagu-lagu pembangkit semangat dari berbagai musisi diputar tanpa henti.
Namun, aliran keuntungan ekonomi itu tidak pernah sampai ke kantong para pencipta lagu.
Baca Juga: Carut Marut Royalti Musik, Kunto Aji: Pencipta Gak Dapat Hak, Pembayar Jadi Tak Ikhlas
“Umpamanya pertandingan sepak bola begitu, kan pakai lagu. Semestinya membayar. Tapi sampai saat ini tidak," kata Hein, dikutip hari Rabu (13/8/2025).
Baginya, setiap acara yang memiliki manfaat ekonomi, seperti penjualan tiket atau sponsor, secara otomatis masuk dalam kategori penggunaan komersial.
Karenanya, kewajiban membayar royalti seharusnya mutlak diberlakukan, tanpa terkecuali, termasuk untuk acara yang digelar oleh institusi negara.
Ironi Sang Pembuat Undang-Undang
Kekecewaan Hein dan para musisi lainnya semakin dalam ketika melihat bahwa kewajiban ini sebenarnya telah tertuang dengan sangat jelas dalam produk hukum yang dibuat oleh pemerintah sendiri bersama DPR, yakni Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Ia secara spesifik menunjuk Pasal 51 dalam UU tersebut, yang menjadi dasar hukum kewajiban pemerintah. Hein memaparkan isi pasal tersebut yang seolah menjadi pedang bermata dua.
“Pembuat undang-undang kan pemerintah dan DPR. Pasal 51 disebutkan, pemerintah dapat menyelenggarakan pengumuman, pendistribusian atau komunikasi atas suatu ciptaan melalui radio, televisi, dan masyarakat lainnya untuk kepentingan nasional tanpa izin dari pemegang hak cipta dengan ketentuan wajib memberikan imbalan kepada pemegang hak cipta,” jelasnya.
Pasal itu memang memberikan keleluasaan bagi pemerintah untuk menggunakan karya cipta demi "kepentingan nasional" tanpa perlu izin terlebih dahulu.
Namun, pasal yang sama menyertakan klausul "wajib memberikan imbalan", yang artinya royalti tetap harus dibayarkan.
Frasa inilah yang menurut Hein diabaikan sepenuhnya.
“Tertulis di sini, pemerintah harus bayar. Harus wajib. Tapi sampai sekarang, satu sen pun belum ada,” kata Hein.
Dinding Birokrasi dan Pertanyaan yang Tak Terjawab
Upaya untuk menagih hak tersebut bukanlah tanpa perjuangan. KCI, sebagai LMK yang menaungi banyak musisi senior sejak didirikan pada tahun 1990.
Mereka telah mencoba berkomunikasi dengan pihak pemerintah. Namun, upaya mereka selalu membentur dinding birokrasi yang tebal dan senyap.
Hein mengungkapkan rasa frustrasinya ketika mencoba meminta penjelasan kepada lembaga sekelas Sekretariat Negara (Sekneg).
Tapi upaya mereka tidak pernah mendapatkan respons yang layak. Pertanyaan mereka seolah lenyap ditelan angin.
“Kalau kita tanyake sekneg, ya diam juga. Tak pernah ada tanggapan. Lalu harus bicara dengan siapa?"