Suara.com - Pemerintah mencanangkan penurunan prevalensi stunting di Indonesia menjadi 14 persen pada tahun 2024. Apa strategi yang dilakukan untuk mencapai target tersebut?
Dilansir ANTARA, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Prof. Purnawan Junadi, optimistis Indonesia bisa menurunkan angka stunting sesuai target apabila tingkat AARR atau pengurangan tahunan rata-ratanya bisa mencapai 3,8 persen.
"Angka stunting di bawah 14 persen atau 680 ribu kasus artinya stunting baru harus 10 persen maksimum atau turun 3,80 persen per tahun (tingkat pengurangan tahunan rata-rata," kata dia dalam diskusi media via daring tentang kemitraan multisektor dalam upaya penurunan stunting di Indonesia, Rabu (21/10/2020).
Menurut Purnawan, kondisi itu bisa terwujud melalui beberapa program yang sebenarnya sudah dilakukan di Indonesia seperti pembekalan edukasi nutrisi pada masyarakat, khususnya remaja perempuan dan ibu hamil, kepastian akses pelayanan kesehatan bagi ibu hamil maupun balita di puskesmas dan posyandu, lalu akses air bersih, dan sanitasi yang memadai.
"Kalau kita lakukan itu dengan baik, kita bisa optimis (stunting bisa turun sesuai target), (tetapi) harus kontekstual terhadap kondisi wilayah," ujar Purnawan.
Khusus akses pelayanan kesehatan ibu hamil dan remaja, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto melalui pesan video yang diputar di sela acara diskusi, memastikan tetap berlangsung sekalipun di tengah pandemi COVID-19 saat ini, dengan tetap menerapkan protokol kesehatan.
Begitu juga dengan pemberian makanan tambahan bagi ibu hamil, pemberian suplemen vitamin A untuk ibu menyusui dan Makanan Pendamping ASI (MPASI).
Di sisi lain, Menkes juga menekankan aspek promotif berupa sosialisasi bagi ibu hamil dan keluarga untuk meningkatkan pemahaman mencegah stunting.
Sosialiasi mengenai hal ini dilakukan dengan melibatkan PKK, tokoh agama, tokoh masyarakat, RT dan RW serta relawan dan ini diharapkan menjadi gerakan bersama di masyarakat.
Baca Juga: Selesaikan Masalah Stunting, Pemerintah Godok Perpres Baru
Menkes juga memandang pentingnya dukungan kemitraan kolaborasi multisektoral dengan pola pentahelix yakni melibatkan unsur pemerintah, dunia usaha, organisasi masyarakat, LSM, akademisi dan media, sehingga diharapkan terjadi konvergensi baik kebijakan maupun program intervensi yang sejalan dengan strategi nasional untuk pencegahan stunting.
Terkait kemitraan, Tenaga Ahli Utama Deputi III Kantor Staf Presiden, Dr. Brian Sriprahastuti, merekomendasikan dua konsep yakni programmatic atau direct implement yang sifatnya pendampingan dana, menyediakan smart chart atau poster terkait stunting seperti yang dilakukan yayasan 1000 Days Fund di 26 pulau di Indonesia, lalu kemitraan dalam advokasi dan komunikasi.
Untuk mewujudkan kemitraan ini, dia berpendapat, pemerintah harus mampu mengatur stakeholders secara bijaksana dan tepat.
Presiden Joko Widodo pada Agustus lalu mengungkapkan, terdapat 10 provinsi dengan angka stunting tertinggi dan salah satunya Nusa Tenggara Timur (NTT). Inilah yang salah satunya menjadi alasan sebuah proyek Stunting Center of Excellence (CoE) di Nusa Tenggara Timur (NTT) diluncurkan.
Data menunjukkan, faktor-faktor seperti keamanan pangan, terbatasnya keragaman pangan, dan penyakit yang berulang menjadi penyebab dasar dari stunting pada lebih dari 270.000 anak berusia di bawah 5 tahun di NTT atau lebih dari 40 persen populasi anak kelompok usia ini di provinsi tersebut.
Deputi Direktur 1000 Days Fund, Jessica Arawinda, salah satu pelaksana proyek itu mengatakan, Stunting Center of Excellence dirancang untuk menjangkau 21 puskesmas (atau sebanyak 100.000 ibu dan anak) sebagai upaya menurunkan stunting sebesar 5-10 persen di kabupaten Manggarai Barat, NTT.