Aditia menyinggung pemerintah pusat dan pemerintah daerah juga berkontribusi secara tidak langsung atas perusakan dan pencemaran yang terjadi. Sebab mereka kerap melakukan pemberian izin, tidak adanya pengawasan atas izin, tidak adanya pemberian sanksi atas pelanggaran perizinan dan tidak tegas dalam penegakan hukum.
"Sehingga hal tersebut membuat perusahaan terus melakukan perusakan di wilayah usahanya tersebut," ucapnya.
Ia juga mengungkap kalau perusahaan-perusahaan pelaku perusakan dan pencemaran memiliki afiliasi perusahaan besar lainnya, politis serta pejabat. Setidaknya terdapat 58 perusahaan, 11 grup perusahaan dan 4 politisi yang memiliki peran langsung ke lingkaran pemerintah.
Keterlibatan mereka disebut Aditia menyulitkan perusakan dan pencemaran kemudian digiring ke proses hukum.
"Dapat diasumsikan bahwa sulitnya membawa kasus-kasus lingkungan hidup tersebut karena adanya pihak-pihak besar baik perusahaan maupun politisi dibaliknya," tuturnya.
Ketimpangan Penegakan Hukum
YLBHI berusaha membandingkan dua persepsi laporan yang dilakukan masyarakat dengan laporan yang dilakukan perusahaan terhadap masyarakat.
Kalau laporan yang diajukan oleh masyarakat itu jumlahnya ada 3 laporan pidana ke kepolisian. Dari laporan tersebut, tidak ada satupun orang yang dipanggil dan ditangkap.
Lalu tidak ada juga yang pernah naik ke pengadilan. Padahal mereka tengah memperjuangkan lingkungan hidup.
Baca Juga: Usai Perpanjang PPKM, Kini Picu Kerumunan Sembako, LBH: Jokowi Selalu Bertolak Belakang
Sedangkan perusahaan yang menjadi perusakan dan pencemaran sudah membuat 12 laporan pidana kepada pihak kepolisian. Dari situ, terdapat beberapa orang yang ditangkap dan dipanggil.