Desak Pemerintah Setop Pembahasan Rancangan Perpres Reforma Agraria, KPA Sampaikan 8 Pandangannya

Jum'at, 04 November 2022 | 14:51 WIB
Desak Pemerintah Setop Pembahasan Rancangan Perpres Reforma Agraria, KPA Sampaikan 8 Pandangannya
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, menyampaikan rakyat Indonesia berhak memperoleh konstitusionalnya atas tanah dan sumber-sumber agraria. (Suara.com/Arga)

Kelima, KPA juga melihat tidak ada perubahan kelembagaan Pelaksana RA. Dewi mengungkapkan kalau makna utama revisi ialah menyadari masalah agraria itu kronis dan bersifat lintas sektor, sehingga secara kelembagaan pun pelaksanaan RA harus dipimpin oleh Presiden.

Kepemimpinan TRAN yang lampau terbukti tidak mampu menjalankan RA sesuai tujuan-tujuannya, sehingga membuat rakyat yang sejak lama menginginkan RA dijalankan secara sistematis di Indonesia, kembali dibenturkan pada urusan-urusan ego-sektoral kementerian/lembaga, saling unjuk kesalahan, tetapi minus terobosan.

"RanPerpres justru kembali ke pola lama di mana kepemimpinan lembaganya hanya setingkat Menteri/Menko, lantas apa makna revisi ini?," tanya Dewi.

Keenam, KPA menilai kalau Reforma Agraria atas konflik agraria BUMN (PTPN/Perhutani) masih seperempat hati. Menurut Dewi, belum ada terobosan hukum yang dirancang secara sungguh-sungguh untuk menuntaskan konflik agraria akut antara masyarakat dengan perusahaan BUMN, baik PTPN maupun Perhutani/Inhutani.

"Selama ini BUMN/PTPN, KSP, Kementerian ATR selalu berputar di alasan-alasan kesulitan penghapusbukuan atas aset atau aktiva tetap BUMN, alasan 30 persen tutupan hutan dan sebagainya," terangnya.

Sementara itu, yang terakhir, KPA melihat RanPerpres melanjutkan kesalahan Perpres 86/2018, yang menjadikan kegiatan sertifikasi tanah sebagai RA. Sertifikasi tanah biasa (non-reform) adalah kegiatan administrasi pertanahan bagi masyarakat yang bertanah dan belum diadministrasikan hak atas tanahnya oleh BPN.

Jadi sertifikasi tanah bukan lah upaya koreksi atas struktur agraria yang timpang bagi orang tak bertanah dan berkonflik (petani gurem, buruh tani, rakyat miskin tak bertanah), bukan pula pemulihan hak korban perampasan tanah yang dimaksudkan oleh agenda RA. Legalisasi aset yang kemudian diterjemahkan menjadi kegiatan PTSL tidak bisa serta merta disebut RA.

"Penguatan hak (pensertifikatan) hanya tahap akhir atau pelengkap pasca penataan-ulang (reform), redistribusi tanah dan penyelesaian konflik," terangnya.

Atas delapan sikap dan pandangan itu, KPA menyampaikan dua desakan kepada pemerintah, yakni:

Baca Juga: Gubernur Sulsel Andi Sudirman Ajak Kementerian Agraria Tertibkan Aset

1. KPA mendesak Pemerintah untuk segera menghentikan pembahasan RanPerpres Percepatan RA yang inkonstitusional. Perbaikan Perpres RA harus kembali berpedoman pada UUD 1945 dan UUPA 1960 sebagai hukum agraria nasional tertinggi, bukan pada UU Cipta Kerja yang telah dinyatakan inkonstitusional.

2. Proses perumusan RanPerpres harus taat pada sejarah dan pokok-pokok mendasar dari urgensi perbaikan Perpres RA yang selama ini dituntut dengan memastikan pelibatan Gerakan Reforma Agraria secara aktif, setara, dan substantial. Sekaligus menjamin transparansi proses perumusan yang diselenggarakan oleh Kemenko Perekonomian, KSP, Kementerian ATR/BPN, KLHK, Kementerian BUMN, Kemendagri, Kementerian Desa dan K/L lainnya, termasuk POLRI dan TNI.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI