Kebijakan ini langsung memicu gelombang kecaman dari berbagai pihak, baik dalam negeri maupun komunitas internasional.
Banyak yang menilai bahwa keputusan tersebut merupakan bentuk pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat dan hak untuk menyuarakan solidaritas terhadap Palestina.
Di tengah eskalasi ketegangan geopolitik di Timur Tengah, mahasiswa internasional yang selama ini dikenal aktif dalam menyuarakan isu HAM dan keadilan global kini justru menjadi sasaran tindakan represif.
Kebijakan ini juga dinilai mencederai reputasi universitas-universitas AS sebagai tempat tumbuhnya diskursus intelektual dan pluralisme.
Sementara itu, berbagai organisasi hak asasi manusia dan lembaga akademik mulai mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang kebijakan ini, dengan alasan bahwa pendidikan seharusnya menjadi ruang aman bagi keberagaman pandangan, bukan medan represif terhadap aspirasi politik mahasiswa.