Era Kolonial dan Perubahan Sosial
Pada masa penjajahan Belanda, Surakarta dikenal sebagai kota yang relatif stabil secara politik. Belanda menjadikan Surakarta sebagai salah satu pusat pemerintahan kolonial di Jawa Tengah.
Namun, pengaruh Belanda secara bertahap menggerus kekuasaan raja-raja di keraton, menjadikan mereka lebih sebagai simbol budaya daripada pemegang kekuasaan nyata.
Meski begitu, Surakarta tetap menjadi pusat pendidikan, kesenian, dan kebudayaan Jawa. B
anyak tokoh nasional lahir dan berkembang di kota ini, termasuk Ki Hajar Dewantara dan WR Soepratman, pencipta lagu kebangsaan "Indonesia Raya."
Surakarta dalam Era Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, Surakarta sempat diberi status Daerah Istimewa, sama seperti Yogyakarta. Namun status ini tidak bertahan lama karena berbagai konflik dan pertentangan politik lokal.
Pada 16 Juni 1946, status daerah istimewa dicabut dan Surakarta menjadi kota administratif biasa di bawah pemerintahan Republik Indonesia.
Meski tak lagi berstatus istimewa secara administratif, Surakarta tetap menyandang identitas budaya yang istimewa.
Hingga kini, dua institusi keraton — Kasunanan dan Mangkunegaran — masih berdiri dan memainkan peran penting dalam pelestarian budaya Jawa, seperti upacara adat, seni tari, musik gamelan, dan batik.
Kota Modern yang Tetap Memegang Tradisi
Kini, Surakarta telah berkembang menjadi kota metropolitan yang modern dengan infrastruktur yang semakin maju. Namun, kota ini tetap mempertahankan karakter tradisionalnya.
Baca Juga: Pertanyakan Alasan Solo Diusul jadi Daerah Istimewa, Legislator Golkar Khawatirkan Ini
Festival budaya seperti Sekaten, Grebeg Maulud, Kirab Pusaka, dan Solo Batik Carnival masih rutin digelar dan menjadi daya tarik wisatawan domestik dan mancanegara.