Suara.com - Mikroplastik, yaitu serpihan plastik berukuran sangat kecil, kini ditemukan hampir di seluruh penjuru dunia, termasuk di dalam tubuh manusia. Namun, hingga kini para ilmuwan masih menghadapi tantangan dalam memetakan secara tepat lokasi penumpukan mikroplastik, terutama di lingkungan perairan seperti sungai dan pantai.
Informasi ini krusial untuk menentukan titik-titik prioritas dalam upaya pembersihan lingkungan secara efektif. Terobosan penting datang dari tim peneliti Massachusetts Institute of Technology (MIT), Amerika Serikat.
Dalam studi yang dipublikasikan di jurnal Geophysical Research Letters, mereka menemukan bahwa keberadaan lendir alami yang dihasilkan oleh mikroorganisme seperti bakteri, ganggang, dan jamur, ternyata menjadi faktor kunci yang memengaruhi sebaran mikroplastik di lingkungan perairan.
Lendir biologis atau biofilm ini lazim menempel di dasar sungai berlumpur atau pantai yang kaya bahan organik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mikroplastik cenderung tidak menumpuk di area yang kaya akan lendir alami tersebut. Sebaliknya, di tempat yang dasarnya hanya terdiri dari pasir bersih, mikroplastik lebih mudah terjebak dan mengendap.
Simulasi Sungai Buatan
Peneliti utama, Dr. Hyoungchul Park, menjelaskan bahwa sebagian besar penelitian sebelumnya hanya dilakukan di lingkungan laboratorium dengan dasar pasir bersih, yang tidak merepresentasikan kondisi alami.
“Padahal, di alam bebas, permukaan dasar sungai atau pantai sering kali dilapisi zat lengket hasil ekskresi mikroba. Zat inilah yang sangat memengaruhi perilaku mikroplastik,” ungkapnya, melansir EurekAlert!, Sabtu (6/6/2025).
Dalam eksperimen yang dilakukan, tim MIT menggunakan tangki aliran air buatan yang dilapisi pasir halus. Sebagian tangki dibiarkan bersih, sementara sebagian lainnya ditambahkan bahan biologis yang meniru lendir alami.
Mereka juga memasukkan pipa-pipa kecil tegak untuk mensimulasikan akar bakau, guna memahami bagaimana struktur alami memengaruhi arus air dan distribusi sampah.
Baca Juga: Stop Plastik! Warga Diimbau Gunakan Daun Pisang untuk Bungkus Daging Kurban
Air yang telah dicampur dengan butiran mikroplastik dialirkan selama tiga jam. Selanjutnya, peneliti menggunakan pencahayaan khusus untuk mengidentifikasi dan menghitung jumlah partikel plastik yang mengendap.
Hasilnya cukup mengejutkan. Pada area dengan banyak lendir alami, jumlah mikroplastik yang menumpuk jauh lebih sedikit. Lendir ini mengisi celah di antara butiran pasir, membuat partikel plastik lebih mudah terbawa arus kembali ke permukaan.
“Lendir biologis ini menghalangi mikroplastik masuk ke dalam lapisan pasir. Akibatnya, plastik tetap berada di permukaan dan lebih mudah hanyut kembali bersama aliran air,” jelas Park.
Profesor Heidi Nepf dari MIT menambahkan, “Jika saya membuang jumlah mikroplastik yang sama di dua sungai—satu dengan dasar pasir bersih dan satu lagi yang berlendir alami—mikroplastik akan lebih banyak tertahan di sungai berpasir bersih.”
Implikasi bagi Indonesia
Penemuan ini membuka peluang besar untuk pengelolaan lingkungan yang lebih tepat sasaran, terutama di negara seperti Indonesia yang memiliki ribuan sungai dan wilayah pesisir yang luas, termasuk hutan bakau.
Hutan bakau yang lebat dan berlumpur cenderung kaya akan mikroorganisme penghasil lendir alami. Dengan demikian, bagian dalam hutan bakau dapat menjadi zona yang lebih “aman” dari penumpukan mikroplastik. Namun, area tepi hutan yang berpasir justru berpotensi menjadi titik penumpukan.
“Wilayah tepi hutan bakau yang berpasir bisa menjadi titik rawan akumulasi mikroplastik. Ini perlu menjadi prioritas pemantauan dan pembersihan,” ujar Park.
Meski banyak faktor lain yang juga memengaruhi—seperti kecepatan aliran air dan bentuk topografi dasar sungai—hasil penelitian ini memberikan panduan awal yang sangat berharga. Dengan memahami karakteristik alami suatu lokasi, petugas kebersihan dan relawan lingkungan dapat lebih efektif menentukan lokasi pembersihan mikroplastik.
Penelitian ini juga mengingatkan kita bahwa solusi terhadap krisis lingkungan tidak selalu berasal dari teknologi canggih. Ekosistem mikro yang tampak sepele, seperti bakteri penghasil lendir, ternyata memainkan peran penting dalam menjaga kebersihan lingkungan air.
Upaya pelestarian mikroba dan kondisi alami perairan perlu mendapat perhatian lebih dalam kebijakan lingkungan. Karena pada akhirnya, menjaga keseimbangan ekosistem berarti juga menjaga masa depan manusia.