
“Prinsip keterbukaan, partisipasi publik, profesionalisme dan akuntabilitas tentu tetap menjadi dasar penyusunan sejarah. Kami akan melakukan diskusi publik yang terbuka untuk menerima masukan dari berbagai kalangan, termasuk para tokoh dan komunitas perempuan, akademisi, dan masyarakat sipil,” ujar Fadli Zon.
“Sejarah bukan hanya tentang masa lalu, tetapi juga tentang tanggung jawab kita di masa kini dan masa depan. Karena itu, mari kita menjadikannya ruang bersama untuk membangun pembelajaran, empati, dan kekuatan pemersatu,” tambah dia.
Dikecam hingga Didesak Minta Maaf
Diketahui, Menbud Fadli Zon ramai disorot setelah menyebut jika korban pemerkosaan dalam tragedi kerusuhan 98 hanya rumor belaka. Walhasil, Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas mengecam hingga mendesak agar Fadli Zon menyampaikan permintaan maaf ke publik
Kecaman itu diserukan oleh koalisi sipil karena pernyataan Fadli Zon dinilai telah menyakiti korban, mengaburkan fakta sejarah, dan menghambat upaya penegakan keadilan atas pelanggaran HAM berat masa lalu.
Kepala Divisi Pemantauan Impunitas KontraS, Jane Rosalina Rumpia mengatakan bahwa pernyataan Fadli Zon itu sebagai bentuk penyangkalan terhadap kekerasan seksual yang telah tercatat oleh berbagai lembaga independen.
Seperti Tim Gabungan Pencari Fakta atau TGPF, Komnas HAM, dan Komnas Perempuan.
Penyangkalan itu, kata Jane, sangat berbahaya karena dapat melanggengkan budaya impunitas di Indonesia.
"Kami memandang tindakan ini juga merupakan upaya memutus ingatan kolektif dan mengkhianati perjuangan para korban untuk memperoleh pengakuan, keadilan, kebenaran dan pemulihan," ujar Jane dalam keterangannya kepada Suara.com, Jumat (13/6/2025).
Baca Juga: Ucapan Fadli Zon soal Pemerkosaan Massal 98 Memanas, Misteri Kematian Tan Malaka Diungkit Sejarawan
Atas hal itu, Jane menuntut Fadli Zon segera mencabut pernyataannya secara terbuka, memberikan klarifikasi, serta menyampaikan permintaan maaf kepada korban dan keluarga korban pelanggaran berat HAM, khususnya korban kekerasan seksual pada Mei 1998.
Permintaan maaf itu juga harus ditujukan kepada seluruh perempuan Indonesia yang selama ini mendampingi perjuangan korban.