Suara.com - Beredarnya sebuah "surat sakti" dari Kementerian Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang meminta fasilitas pendampingan untuk istri menteri di tujuh kota di Eropa menjadi puncak gunung es.
Di baliknya, tersimpan borok dan praktik feodalisme yang telah mengakar selama bertahun-tahun di perwakilan diplomatik Indonesia di luar negeri.
Disitat dari laman BBC Indonesia, Senin (7/7/2025), sejumlah staf Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) dan Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di beberapa negara akhirnya buka suara.
Mereka mengaku kerap dipaksa "melayani" keluarga pejabat untuk urusan yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan tugas negara.
Dari menjadi sopir pribadi di akhir pekan, pemandu belanja, hingga mencarikan restoran untuk makan malam.
"Ada juga pejabat yang tidak menjalankan tugas negara atau dinas ke luar negeri tapi tetap meminta fasilitas dari KBRI," kata salah-seorang staf KBRI kepada BBC News Indonesia.
Mereka berbicara dengan syarat anonimitas demi keamanan pekerjaan mereka.
Pengakuan ini mengonfirmasi bahwa insiden yang melibatkan istri Menteri UMKM, Agustina Hastarini, bukanlah kasus pertama, melainkan sebuah pola yang sudah menjadi rahasia umum di kalangan diplomat.
'Apapun Permintaannya, Kami Jalani'
Baca Juga: Kehebohan Surat Menteri UMKM Minta Kedubes Fasilitasi Jalan-jalan Istrinya, Kemenlu Buka Suara
Bagi sebagian staf, praktik melayani pejabat dan keluarganya sudah dianggap sebagai hal yang "normal".
Mereka merasa tidak punya kuasa untuk menolak, terutama jika permintaan datang melalui surat resmi atau instruksi atasan.
"Kami kan abdi negara yang diharapkan dapat memberikan pelayanan prima kepada seluruh elemen masyarakat Indonesia," ucap seorang staf, menyiratkan adanya tekanan psikologis untuk selalu patuh.
"Jadi ya apapun permintaannya, kami jalani dengan sepenuh hati. Jangan sampai ada yang merasa tidak diperhatikan oleh Perwakilan RI di luar negeri," tambahnya.
Staf lain menceritakan skenario yang sering terjadi. Saat seorang pejabat datang untuk tugas dinas, keluarganya yang ikut serta akan "ditemani" oleh anggota Dharma Wanita untuk berjalan-jalan atau berbelanja. Setelah tugasnya selesai, sang pejabat pun akan diajak berkeliling dan dijamu makan.
Yang lebih parah, fasilitas negara diduga ikut dimanfaatkan. "Mereka itu 'memakai' jasa para staf bahkan di luar jam kerja, misal menemani dinner atau saat akhir pekan dipakai mengajak mereka jalan-jalan atau belanja.