Suara.com - Surat tuntutan pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang dilayangkan Forum Purnawirawan TNI telah resmi diterima pimpinan DPR dan MPR.
Namun, alih-alih memicu badai politik di Senayan, bola panas itu justru terkesan 'didinginkan'.
Hingga kini, belum ada langkah konkret dari parlemen untuk menindaklanjuti tuntutan tersebut, menciptakan tanda tanya besar: apakah wacana ini hanya akan menjadi angin lalu?
Surat yang tiba pada awal Juni 2025 itu menjadi puncak kegelisahan sebagian kelompok masyarakat pasca-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90 yang meloloskan Gibran sebagai cawapres.
Para purnawirawan menilai ada cacat etika dan kepantasan dalam proses tersebut. Namun, respons dari para petinggi legislatif terkesan normatif dan penuh kehati-hatian.
Ketua DPR RI, Puan Maharani, menyatakan akan memeriksa surat tersebut dan menentukan langkah selanjutnya.
"Terkait dengan surat, kami akan cek kembali apakah bisa, langkah-langkah apa yang akan dilakukan. Yang tentunya kami akan proses nantinya dengan sebaik-baiknya," ujar Puan di Kompleks Parlemen beberapa waktu lalu.
Senada dengan DPR, pihak MPR juga menyebut masih perlu melakukan kajian internal melalui Sekretariat Jenderal sebelum mengambil sikap.
Sikap menunggu ini mengindikasikan bahwa jalan menuju pemakzulan tidaklah mudah dan sarat akan pertimbangan politik.
Baca Juga: Wapres Gibran 'Turun Gunung' ke Papua: Janji Manis atau Mimpi di Siang Bolong?
Standar Tinggi Pemakzulan ala Jokowi
Di tengah dinamika ini, Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi), yang juga ayah dari Gibran, angkat bicara.
Alih-alih merespons secara politis, Jokowi justru mengingatkan publik tentang tingginya tembok konstitusi yang harus dilompati untuk memakzulkan seorang wakil presiden.
Menurutnya, pemakzulan hanya bisa terjadi jika ada pelanggaran yang sangat fundamental.
Dalam sebuah kesempatan, Jokowi memaparkan kondisi spesifik yang memungkinkan seorang presiden atau wakil presiden dilengserkan dari jabatannya.
"Kita punya mekanisme yang harus diikuti, bahwa pemakzulan itu Presiden atau Wakil Presiden misalnya korupsi atau melakukan perbuatan tercela atau melakukan pelanggaran berat," kata Jokowi.