KPK Kasih Catatan Kritis Revisi KUHAP, Komisi III DPR Kasih Tantangan: Silakan Aja Datang ke Sini

Kamis, 17 Juli 2025 | 20:24 WIB
KPK Kasih Catatan Kritis Revisi KUHAP, Komisi III DPR Kasih Tantangan: Silakan Aja Datang ke Sini
Komisi III DPR menantang KPK untuk datang langsung mengkritisi poin-poin dalam Revisi KUHAP. [Suara.com/Bagaskara]

Suara.com - Anggota Komisi III DPR Hinca Panjaitan mempersilakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyampaikan 17 poin yang menjadi catatan untuk Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ke DPR.

"Silakan aja datang," kata Hinca di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (17/7/2025).

Ia mengatakan bahwa Komisi III masih akan terus membuka ruang bagi siapa saja yang ingin memberikan masukan soal KUHAP yang baru.

"Silahkan aja dibaca DIM-nya. Sekali lagi, ini masih terbuka kepada siapapun, termasuk Anda. Saya selalu ngajurkan ke teman-teman, jangan-jangan kalian pun nggak baca. Baca lah, hampir 1.600 sekian dim itu. Sehingga dengan membaca itu, dan ikutin update-nya dari waktu ke waktu, gitu," ujarnya.

"Misal, ada yang tanyain gimana penyadapan. Jelas-jelas di situ, tidak diatur penyadapan, karena akan diatur undang-undang tersendiri. Habis, kita berdebat yang nggak ada, nggak ada substansinya. Jadi, saya sarankan kalau memang gitu, ikutin aja, kasih masukan, datang kemari, selesai," sambungnya.

Ia mengatakan, meski pembahasan Revisi KUHAP sudah memasuki Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi, tapi masih terbuka terima masukan.

"Kemarin aja masih kita buka. Buka terus. Mungkin Senin juga masih akan ada yang datang lagi, mahasiswa atau siapa. Jadi, siapa yang merasa, datang aja. Memang ini rumah rakyat, semua aja bisa," pungkasnya.

Sebelumnya, KPK mengungkapkan 17 poin yang menjadi catatan dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).

Poin-poin yang dinilai berpotensi melemahkan upaya pemberantasan korupsi itu berisi beleid yang masih dalam pembahasan di DPR RI.

Baca Juga: Klaim DPR Lembaga Transparan, Ketua Komisi III Sebut Pengkritik Revisi KUHAP Ugal-ugalan

"Dalam perkembangan diskusi di internal KPK, setidaknya ada 17 poin yang menjadi catatan, dan ini masih terus kami diskusikan," kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo kepada wartawan, Kamis (17/7/2025).

Pertama, lanjut Budi, RUU KUHAP dinilai melemahkan kewenangan penyelidik dan penyidik dengan perubahan pada aturan mengenai penyelidikan, penyadapan, dan penyitaan.

Selain itu, aturan bermasalah lainnya ialah penanganan perkara di KPK hanya bisa dilakukan dengan berdasarkan KUHAP. Padahal, selama ini KPK juga berpedoman pada UU Tipikor dan UU KPK.

Kemudian, KPK juga mempersoalkan ketentuan mengenai penyelidik hanya boleh dari Polri dan harus diawasi polisi.

Hal ini dinilai RUU KUHAP tidak mengakomodir posisi penyelidik di KPK.

Persoalan lainnya yang disoroti KPK ialah ketentuan mengenai tahap penyelidikan yang hanya boleh menemukan peristiwa pidana.

Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi Budi Prasetyo. ANTARA/Rio Feisal.
Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi Budi Prasetyo mengkritisi Revisi KUHAP yang bermasalah pada 17 poin. [ANTARA/Rio Feisal]

Ketentuan ini menjadi masalah lantaran KPK umumnya juga mencari alat bukti pada tahap penyelidikan.

Kelima, lembaga antirasuah juga menyoal perihal keterangan saksi yang hanya akan bisa didapatkan pada tahap penyidikan sampai tahap penuntutan.

Dalam RUU KUHAP, informasi yang didapatkan pada tahap penyelidikan tidak bisa dijadikan sebagai alat bukti.

Lebih lanjut, KPK mempersoalkan perihal penetapan tersangka yang baru akan ditentukan setelah penyidik memiliki dua alat bukti.

Kemudian, beleid mengenai penghentian penyidikan yang wajib melibatkan Polri juga menjadi salah satu isu yang dikeluhkan KPK dalam RUU KUHAP.

Berikutnya, KPK juga keberatan dengan ketentuan dalam RUU KUHAP bahwa berkas perkara korupsi diserahkan kepada Polri jika sudah siap untuk dilimpahkan ke penuntut umum.

Persoalan kesembilan ialah mengenai penggeledahan yang dilakukan KPK harus didampingi oleh penyidik Polri di wilayah setempat.

Selanjutnya, KPK juga menyoroti ketentuan dalam RUU KUHAP soal penyitaan yang dilakukan harus dengan izin dari ketua pengadilan.

Aturan mengenai penyadapan juga menjadi persoalan yang dipermasalahkan oleh KPK.

Sebab, RUU KUHAP mewajibkan KPK mendapatkan izin dari ketua pengadilan untuk melakukan penyadapan.

Padahal, KPK umumnya hanya memberikan pemberitahuan kepada Dewan Pengawas (Dewas) KPK.

Selain itu, KPK juga mempermasalahkan ketentuan mengenai larangan berpergian ke luar negeri hanya berlaku bagi tersangka.

Di sisi lain, KPK menilai larangan ke luar negeri bagi saksi juga penting untuk memastikan saksi bisa diperiksa sewaktu-waktu keterangannya diperlukan.

Lebih lanjut, RUU KUHAP juga mewacanakan larangan proses persidangan pokok perkara jika tersangka mengajukan praperadilan.

Dalam aturan sebelumnya, praperadilan akan digugurkan bila sidang pokok perkara digelar.

Keempatbelas, RUU KUHAP dinilai tidak mengakomodir kewenangan KPK dalam mengusut kasus konektivitas meskipun Mahkamah Konstitusi (MK) sudah menguatkan kewenangan itu.

Berikutnya, persoalan lain ialah perlindungan saksi yang tidak bisa dilakukan oleh KPK lantaran kewenangannya hanya diberikan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Poin keenambelas, KPK juga menyoal beleid mengenai Jaksa Agung yang harus memberikan pengangkatan sementara untuk penuntutan di luar daerah hukum. Padahal, KPK memiliki kewenangan penuntutan di seluruh wilayah Indonesia.

“Terakhir, Pasal 60 (dalam RKUHAP) penuntutan terdiri atas, pejabat Kejaksaan RI, dan pejabat suatu lembaga yang diberikan kewenangan untuk melakukan penuntutan berdasarkan ketentuan undang-undang,” katanya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI