Suara.com - Bagi ribuan warga di tiga desa yang mengelilingi Setu Gunung Putri, langit mendung bukan lagi pertanda berkah, melainkan alarm bencana.
Rasa was-was seketika menjalar, anak-anak diminta waspada, dan barang-barang berharga mulai diungsikan ke tempat yang lebih tinggi.
Inilah realita pahit kehidupan mereka, hidup dalam teror banjir yang datang tanpa permisi.
Setu Gunung Putri, danau yang seharusnya menjadi sumber kehidupan, kini telah berubah menjadi 'bom waktu' yang siap meledak kapan saja.
Pendangkalan parah membuatnya tak lagi sanggup menahan air hujan, mengubah rumah dan harapan warga menjadi lautan lumpur dalam sekejap.
Bukan Lagi Berkah, Setu Kini Jadi Kutukan
Setiap kali air dari Setu meluap, kehidupan di Desa Gunung Putri, Desa Puspasari, dan Kelurahan Puspanegara praktis lumpuh. Air keruh setinggi lutut orang dewasa merendam rumah, memutus akses jalan, dan menghancurkan apa saja yang dilewatinya.
“Setiap hujan deras, hati kami sudah tidak tenang. Bukan lagi memikirkan jemuran, tapi memikirkan bagaimana caranya menyelamatkan kasur dan barang elektronik,” keluh seorang warga yang enggan disebutkan namanya.
Perasaan was-was dan frustrasi ini disuarakan oleh Kepala Desa mereka, Daman Huri, yang menyaksikan langsung penderitaan warganya.
Baca Juga: Ancaman 'Bom Waktu' di Gunung Putri, Kades Ngamuk Setu Penyebab Banjir Diabaikan
“Revitalisasi yang tak kunjung dilaksanakan itu, menjadi penyebab utama bencana di tiga wilayah dan beberapa akses ke area perkampungan juga terputus akibat banjir,” ungkap Daman Huri, menyuarakan keputusasaan warganya.
Bagi warga, banjir bukan hanya soal genangan air. Ini adalah tentang kerugian materiil dan kelelahan fisik serta mental yang tak berkesudahan.
Perabotan yang baru dibeli rusak terendam lumpur. Anak-anak tidak bisa pergi ke sekolah. Aktivitas ekonomi terhenti.
Setelah air surut, perjuangan belum berakhir. Mereka harus berjibaku membersihkan lumpur tebal dan bau yang menyengat, sebuah siklus melelahkan yang terus berulang tanpa ada solusi pasti dari pemerintah.
Rasa lelah ini diperparah dengan perasaan diabaikan. Laporan dan keluhan mereka, yang disalurkan melalui pemerintah desa, seolah hanya membentur tembok birokrasi yang tebal.
“Kami ini seperti diping-pong. Lapor ke sini, dilempar ke sana. Padahal kami ini korban, rumah kami yang terendam,” lanjut warga tersebut, menggemakan pernyataan Kades Daman Huri tentang birokrasi yang berbelit.