suara hijau

Ekspansi Tambang Nikel Ancam Nilai Ekonomi Hutan Morowali yang Capai Rp 2,81 Triliun per Tahun

Bimo Aria Fundrika Suara.Com
Rabu, 30 Juli 2025 | 09:59 WIB
Ekspansi Tambang Nikel Ancam Nilai Ekonomi Hutan Morowali yang Capai Rp 2,81 Triliun per Tahun
Lansekap hutan Morowali yang belum terjamah kegiatan industri. (Dok. AEER/2025)

Suara.com - Morowali, salah satu pusat pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tengah, menghadapi ancaman serius terhadap keberlanjutan lingkungan.

Di balik maraknya aktivitas pertambangan nikel di kawasan ini, laporan terbaru dari Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) menunjukkan bahwa nilai ekonomi hutan Morowali justru jauh lebih tinggi dari pendapatan daerahnya.

Total Economic Value (TEV) hutan Morowali mencapai Rp 2,81 triliun per tahun, atau 44,61% lebih besar dari realisasi Pendapatan Pemerintah Kabupaten Morowali tahun 2023 yang hanya Rp 1,94 triliun.

Namun, sekitar Rp 1,07 triliun dari nilai tersebut berada dalam wilayah konsesi tambang dan berisiko hilang. Jika ekspansi tambang terus berlanjut, potensi kerugian ekonomi bisa meningkat hingga Rp 568 miliar per tahun.

Lansekap hutan Morowali yang belum terjamah kegiatan industri. (Dok. AEER/2025)
Lansekap hutan Morowali yang belum terjamah kegiatan industri. (Dok. AEER/2025)

Analisis AEER dilakukan menggunakan pendekatan valuasi total ekonomi sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 15 Tahun 2012. Nilai ekonomi yang dihitung mencakup manfaat langsung, tidak langsung, nilai keberadaan, pilihan, dan warisan.

Kajian spasial menggunakan teknik overlay dengan perangkat lunak ArcGIS, sementara perhitungan nilai ekonomi memakai pendekatan pasar dan metode biaya pengganti (benefit transfer).

“Sulawesi adalah wilayah strategis yang menyimpan cadangan nikel besar, tetapi juga kawasan dengan keanekaragaman hayati paling kaya,” ujar Risky Saputra, peneliti AEER. “Ketidakseimbangan antara eksploitasi dan perlindungan hutan akan berujung pada kerugian jangka panjang, baik secara ekologis maupun ekonomi.”

Tekanan terhadap hutan Morowali juga mengancam pencapaian target iklim nasional, terutama dalam kerangka FoLU (Forestry and Other Land Use) Net-Sink 2030.

Kawasan hutan ini menyerap lebih dari 1,1 juta ton emisi karbon (COe) per tahun. Sementara itu, sejak 2019–2023, deforestasi akibat tambang nikel secara nasional menyebabkan hilangnya 37.660 hektare tutupan pohon, dengan 6.110 hektare terjadi di Morowali.

Baca Juga: Maut Tak Hentikan Kasus Korupsi Malut, KPK Bidik Anggota DPR Shanty Alda dan Bos Tambang Haji Robert

Kini, 35% wilayah Morowali telah dikonversi menjadi konsesi tambang nikel, mencakup sekitar 157.935 hektare, termasuk 133.256 hektare kawasan hutan dan 97.790 hektare hutan primer—yang seharusnya dilindungi.

“Tanpa intervensi kebijakan yang kuat, tekanan industri nikel akan mempercepat deforestasi dan mengancam pencapaian target iklim serta keanekaragaman hayati nasional,” tegas Meity Ferdiana Pakual dari Universitas Tadulako.

Dalam laporan itu, AEER merekomendasikan penghentian izin baru di hutan primer, integrasi nilai perlindungan ekosistem dalam perencanaan pembangunan daerah dan nasional, serta pemanfaatan pendanaan restorasi berbasis hasil (result-based finance).

Prof. Akhmad Fauzi dari IPB menekankan perlunya perubahan paradigma pengelolaan sumber daya alam.

“Jika hutan ditebang tanpa ada penguatan nilai tambahnya, aset kita mengalami depresiasi yang luar biasa,” ujarnya. Ia juga mendorong pembentukan resource fund dari penerimaan SDA untuk memperkuat nilai ekonomi lokal lewat pertanian, pariwisata, hingga jasa lingkungan.

Laporan ini dirilis menjelang pengajuan Second Nationally Determined Contribution (SNDC) Indonesia ke UNFCCC pada COP30 di November 2025—momen penting yang menentukan arah kebijakan iklim nasional. AEER berharap temuan ini jadi bahan pertimbangan serius bagi pembuat kebijakan sebelum terlambat.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI