Suara.com - Satu pertanyaan besar terus menggantung di benak publik pasca ditutupnya penyelidikan kasus kematian diplomat muda, Arya Daru Pangayunan: Apa motifnya?
Di tengah kebisuan polisi yang memicu beragam spekulasi, Guru Besar Universitas Bhayangkara, Profesor Hermawan Soelistyo, tampil ke depan untuk membongkar sebuah "rahasia dapur" yang menjadi alasan utama di balik misteri ini.
Jawabannya, menurut sang pakar, bukanlah karena polisi tidak tahu atau menutupi konspirasi. Sebaliknya, polisi justru tahu terlalu banyak. Namun, ada sebuah dinding tebal bernama "etika" yang tidak mungkin mereka langgar, sekalipun didesak oleh rasa penasaran publik yang begitu besar.
"Yang menjadi masalah menyampaikannya ke ruang publik karena ada masalah etis di situ," tegas Profesor Hermawan dikutip dari Youtube Kompas TV.
Ia melukiskan betapa peliknya posisi penyidik, khususnya Direktur Reserse Kriminal Umum, saat harus berhadapan dengan media.
Mereka harus memberikan penjelasan yang memuaskan tanpa melanggar batas-batas privasi yang paling dalam dari almarhum dan keluarganya. Sebuah tugas yang nyaris mustahil.
"Sehingga direskrimum nya au au ketika harus menjelaskan dan tidak melampaui batas etik etis itu gitu. Sangat hati-hati, kalau wartawannya pintar dikejar terus mati dia," ujarnya dengan gaya bicara yang lugas, menggambarkan tekanan luar biasa di ruang konferensi pers.
Profesor Hermawan menekankan bahwa Indonesia bukanlah ruang hampa tanpa aturan di mana semua informasi bisa dilempar begitu saja.
Ada batasan jelas yang membedakan antara kasus politis yang perlu transparansi penuh, dengan kasus personal yang menyangkut kehormatan individu.
Baca Juga: Kematian Diplomat Kemlu Penuh Misteri, Keluarga Tak Percaya Arya Bunuh Diri, Sengaja Ditutupi?
"kita kan bukan hidup di dunia luar bebas ngomong apa saja gitu kan. Kita kalau belajar dari pengungkapan hasil-hasil investigasi terhadap Milosevic dulu karena itu berkaitan dengan politis. Kalau ini kan enggak. Ini dengan etika, dengan batas etis," jelasnya.
Lalu, apa sebenarnya "batas etis" yang sakral ini? "Batas etisnya adalah individual. Individu kan kita enggak mau pribadi kita diungkap-ungkap diomongin yang belum tentu benar gitu loh," katanya, menyentuh nurani publik bahwa setiap orang berhak atas kerahasiaan ruang pribadinya.
Di sinilah letak bom waktu informasinya. Profesor Hermawan mengungkap bahwa polisi tidak hanya berspekulasi mengenai motif.
Mereka memegang bukti fisik yang kuat terkait hal-hal yang masuk dalam ruang etis tersebut. Bukti yang, jika diungkap, justru akan menimbulkan luka yang lebih dalam.
"Sementara polisi itu kan mereka pegang bukti fisik juga tentang hal-hal yang masuk ruang etis yang di dalam ruang etis," ucapnya.
Polisi, menurutnya, secara profesional telah memisahkan dua hal: faktor penyebab jangka panjang (causative factors) dengan pemicu sesaat (trigger).
"Jadi dipisahkan antara penyebab causative factors, faktor-faktor yang menyebabkan yang bisa berlangsung lama dengan trigger. Triggernya itu ya matinya aja," ujar Prof Kiki.
Dan di sinilah yurisdiksi polisi berakhir. Tugas mereka adalah menginvestigasi "trigger" atau pemicu kematian untuk memastikan ada atau tidaknya unsur pidana.
Begitu unsur pidana ditiadakan, maka selesailah tugas mereka, terlepas dari apa pun faktor personal yang melatarbelakanginya. "Nah, polisi urusannya cuman trigger. Begitu tidak ada urusan dengan pidana ya selesai tugasnya," kata Kiki.
Hal senada diungkapnya mantan Kabareskrim Komjen (Purn) Susno Duadji. Ia mengatakan Polri sudah mengantongi alat bukti yang lengkap dalam mengungkap kasus kematian Arya Daru.
"Alat buktinya sudah lengkap dimiliki Polri tapi tidak disampaikan ke publik, sampai penyebab, Polri sudah tahu," ujar Susno dikutip dari Kompas TV.
Menurutnya ini adalah masalah hukum di mana yang bicara adalah alat bukti ilmiah bukan berdasarkan perasaan.
"Apa perlu Polri mengungkap kenapa dia naik ke rooftop, siapa yang berhubungan dengan yang bersangkutan, apa perlu dipublikasi itu? Keluarga juga tidak akan menyampaikan ke publik secara vilgar karena menyangkut nama baik keluarganya. Polri sudah transparan," ucapnya.