Serupa Arya Daru, Di Italia Pria Tewas dengan Wajah Terlilit Lakban di dalam Mobil

Wakos Reza Gautama Suara.Com
Rabu, 30 Juli 2025 | 19:36 WIB
Serupa Arya Daru, Di Italia Pria Tewas dengan Wajah Terlilit Lakban di dalam Mobil
Kasus yang mirip dengan kasus Arya Daru pernah terjadi di Italia. [suara.com]

Suara.com - Kasus diplomat Arya Daru Pangayunan yang mati dengan kondisi wajah terlilit lakban di kamar kosnya masih menyita perhatian publik. 

Setelah polisi menyimpulkan Arya Daru mati karena bunuh diri, muncul reaksi publik yang meragukan hasil penyelidikan tersebut.

Bahkan pihak keluarga Arya Daru tidak percaya almarhum nekat mengakhiri hidupnya sendiri. Mereka meminta polisi untuk menyelidiki kasus kematian Arya Daru lebih mendalam.

Kasus ini menyedot perhatian masyarakat luas karena disebabkan cara mati Arya Daru yang tidak biasa, yaitu dengan wajah terlilit lakban. 

Walau tak biasa, kasus bunuh diri dengan cara melilitkan lakban di wajah bukanlah hal baru dalam dunia forensik. Di Italia, pernah terjadi kasus yang mirip-mirip dengan Arya Daru.

Kasus ini dimuat dalam jurnal ilmu forensik yang berjudul "Unusual Suicidal Smothering by Means of Multiple Loops of Adhesive Gummed Tape".

Pada 28 November 1997 malam, di sebuah pedesaan terpencil di provinsi Bari, Italia,  sebuah mobil Fiat Uno ditemukan terparkir dalam keheningan yang ganjil.

Pemandangan di dalamnya sangat mengerikan.  Seorang pria tewas di kursi pengemudi. Teridentifikasi sebagai penduduk lokal berusia 66 tahun dengan postur tubuh gemuk.

Dia ditemukan dalam kondisi berpakaian lengkap, masih mengenakan mantelnya. Mesin mobil sudah dingin, kunci dalam posisi "off", dan yang paling membingungkan, semua jendela tertutup dan pintu terkunci dari dalam. Tak ada satu pun tanda kerusakan atau perlawanan.

Baca Juga: Hanya Satu Cara Ini yang Bisa Membuktikan Arya Daru Diplomat Kemlu Bunuh Diri atau Dibunuh

Namun, yang membuat polisi dan tim forensik terhenyak adalah kondisi kepala korban. Beberapa lapis lakban selebar 5 cm melilit kepalanya berkali-kali dengan presisi mengerikan, menutup rapat seluruh mulut dan lubang hidung.

Lilitan itu begitu ketat hingga menjerat cuping telinga dan sebagian kerah mantelnya. Ujung lakban yang terpotong rapi berada di bagian belakang kepala.

Di tengah pemandangan mengerikan itu, dua petunjuk kunci menjadi titik terang. Pertama, di tangan korban yang terkulai, ia masih memegang sisa gulungan lakban—jenis yang sama persis dengan yang melilit kepalanya.

Kedua, di saku pintu mobil, ditemukan sebuah pisau dapur dengan bilah bergerigi. Pada pisau itu, terdapat sisa lem dan serpihan kecil lakban yang identik.

Saat tim forensik mulai membuka lapisan lakban dengan hati-hati, mereka menemukan sebuah metode yang terencana dengan sangat detail. Ada dua strip lakban terpisah.

Strip pertama dililitkan enam kali searah jarum jam. Di bawahnya, ada strip kedua yang dililitkan sembilan kali. Para ahli berteori bahwa lilitan pertama mungkin tidak cukup rapat, menyisakan celah minimal untuk bernapas, yang mendorong korban untuk menambahkan lapisan kedua yang fatal.

Penyelidikan pun beralih dari TKP ke laboratorium. Hasilnya semakin memperkuat dugaan yang paling sulit dipercaya. Tes toksikologi pada darah, urine, dan empedu menunjukkan hasil negatif total.

Tidak ada alkohol, narkoba, atau zat beracun lainnya di tubuh korban. Waktu kematian diperkirakan terjadi 18-24 jam sebelumnya, pada malam antara 27 dan 28 November.

Fakta paling telak datang dari analisis sidik jari. Sidik jari yang ditemukan di seluruh permukaan lakban, pada gulungan di tangannya, pada pisau dapur, dan di berbagai sudut interior mobil, semuanya cocok dengan satu orang: korban itu sendiri.

Potongan ujung lakban pun menunjukkan tanda-tanda telah dipotong dengan pisau bergerigi, konsisten dengan pisau yang ditemukan di TKP.

Teori adanya pembunuhan seketika runtuh. Mengingat postur tubuh korban yang besar, mustahil bagi pihak ketiga untuk melilitkan lakban serapat itu tanpa menimbulkan perlawanan atau setidaknya luka defensif. Namun, tubuh dan pakaian korban bersih dari tanda-tanda kekerasan.

Puzzle mengerikan ini akhirnya lengkap saat riwayat psikologis korban terungkap. Penyelidikan memastikan bahwa pria berusia 66 tahun itu telah lama menderita sindrom depresi berat yang menolak segala bentuk terapi.

Ia beberapa kali menyuarakan keinginan untuk bunuh diri. Pada hari terakhirnya, 27 November, ia meninggalkan rumah pukul 4 sore setelah makan sederhana, meninggalkan semua barang pribadinya, dan tak pernah kembali.

Berdasarkan serangkaian bukti yang tak terbantahkan—mulai dari TKP yang steril, sidik jari korban di semua barang bukti, hingga riwayat depresi berat—kasus ini secara resmi diklasifikasikan sebagai suicidal smothering, atau bunuh diri dengan cara membekap diri sendiri.

Sebuah kasus yang menjadi studi abadi tentang bagaimana keputusasaan yang mendalam dapat mendorong seseorang untuk melakukan tindakan yang paling rumit dan tak terbayangkan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI