Ulil Abshar Abdalla: Keraslah pada Diri Sendiri, Bukan Orang Lain

Selasa, 12 Juni 2018 | 15:07 WIB
Ulil Abshar Abdalla: Keraslah pada Diri Sendiri, Bukan Orang Lain
Ulil Abshar Abdalla. [Suara.com/Erick Tanjung]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Banyak orang yang kritik saya. Kritikannya, ya, seperti itu, harusnya bisa masuk ke generasi milenial. Tapi gimana? Kan tidak bisa dipaksa juga. Saya disuruh buat pengajian ihya yang pendek-pendek, 3 menit yang langsung to the point, seperti iklan. Waduh, saya tidak bisa melakukan itu, karena mungkin orang lain yang harusnya melakukan hal itu. Audiens saya bukan generasi milenial. Segmennya ya orang-orang NU lah. Tapi orang NU yang sudah mengalami urbanisasi.

Ini menarik. Orang-orang yang dulu pernah mondok atau pernah berkenalan dengan tradisi NU, tapi kemudian pindah ke kota. Mereka kangen dengan tradisi itu, dan mereka juga ingin ada pengajian yang menghubungkan antara kitab-kitab klasik dengan masalah kekinian. Karena kalau ngajinya dengan cara pesantren murni, mereka juga sudah bosan. Mereka ingin ngaji yang kontekstual, kekinian, tapi tetap ala pesantren. Itu memenuhi aspirasi mereka sepertinya.

Jadi sebetulnya ini adalah generasi NU urban. Kira-kira begitu. Tapi juga bukan yang di (kawasan) urban saja, di daerah juga banyak kok. Ada juga di luar NU. (Kaum) Abangan misalnya, yang ikut ini juga ada. Bahkan yang non-muslim juga ada. Yang tua juga banyak.

Secara gender laki-laki paling banyak. (Tapi) Justru penonton yang paling aktif perempuan, walaupun jumlah mereka tidak sebanyak laki-laki. Mereka aktif membuat catatan. Ada yang namanya Nurul Agustina. Bukan hanya rajin mengikuti pengajian, tapi juga buat catatan, kadang diberi bumbu lewat pengalaman dia sendiri. Menarik sekali, karena dia penulis yang baik.

Apa pentingnya kitab Ihya untuk hari ini dan apa relevansinya?

Kitab Ihya itu relevansinya adalah memberikan pemahaman keagamaan yang lebih mendalam dan bersifat spiritual. Menurut saya, dengan pemahaman Islam seperti yang disodorkan dalam kitab Ihya, orang itu bisa dihindarkan dari godaan radikal. Kitab Ihya itu kalau dibaca oleh seseorang, orang itu akan susah jadi radikal. Karena orientasi Ihya itu sebenarnya membangun karakter diri. Sifatnya melakukan kritik ke dalam.

Ini berbeda dengan semangat keagamaan yang ada di kota-kota yang lebih menuju ke luar, menghakimi orang lain, menyesatkan. Ihya itu semangatnya membawa orang melakukan peneropongan terhadap diri kita sendiri. Saya mengistilahkan orientasi Ihya itu adalah membuat orang menjadi "FPI" bagi dirinya, bukan "FPI" bagi orang lain. Kalau kamu keras, keraslah terhadap dirimu, bukan kepada orang lain. Yang menjadi soal jika kamu jadi "FPI" bagi orang lain. Kalau kamu jadi "FPI" bagi diri sendiri, artinya kamu keras terhadap diri sendiri, melakukan kontrol, dalam bahasa tasawuf atau mistiknya adalah muroqobah, melakukan kritik terus-menerus terhadap diri sendiri. Kalau Anda melakukan itu, tidak ada kesempatan untuk menghakimi orang lain.

Ilustrasi seorang lelaki berusia sepuh sedang membaca Al Quran. [Shutterstock]

Kemudian saya ingin mengajak orang Islam di perkotaan mengembangkan wawasan keislaman yang lebih spiritualistik, yang intinya adalah membangun kesadaran rohaniah yang mendalam sehingga hubungan kita terhadap Tuhan itu lebih intim, lebih kuat, dan itu jadi pondasi untuk membangun masyarakat Islam agar tidak berorientasi pada simbol-simbol permukaan. Karena problem kita sekarang ini adalah problem politik identitas yang fokusnya adalah menekankan simbol-simbol formal. Kalau orang belajar tasawuf, simbol formal bukan berarti tidak penting, tapi itu tidak merupakan hal yang utama. Yang paling utama adalah penghayatan di dalam terhadap agama. Itu yang saya suka dari Ihya, selain saya ingin membawa orang Islam dalam memahami Islam itu tidak hitam-putih.

Baca Juga: Inilah Limo Canggih Kim Jong Un di KTT Singapura

Mengenai terminologi Islam sekuler, liberal, bagaimana penjelasan yang bisa Anda berikan, sehubungan perkembangan pengajian Anda saat ini?

Saya masih liberal, tidak berubah pendapat saya dari dulu sampai sekarang. Cuma saya berusaha mengembangkan wawasan baru, yakni wawasan spiritual. Wawasan ini tidak bertentangan dengan pemahaman saya mengenai Islam. Justru menurut saya adalah wawasan yang liberal itu akan lebih matang kalau disertai dengan wawasan spiritual, dan intinya adalah orang tidak seresisten ketika saya kasih dalil (seperti biasanya). Karena saya ngaji Ihya ini memang saya membaca kitab yang memang sudah diakui otoritasnya. Tapi masih ada saja yang berpersepsi buruk. Ya, saya tidak soal. Karena tidak mungkin memaksa orang mengubah pendapat tentang saya. Bahkan saya cenderung mengatakan kalau kamu membaca kitab Ihya dengan benar, nggak mungkin kamu ikut dalam gerakan terorisme. Orang yang paham Ihya secara benar, kamu tidak akan ISIS dan lainnya. Justru akan menjauh dari gerakan seperti itu, lebih toleran, tidak menghakimi orang lain. Orientasinya melakukan perbaikan diri. Saya rasa orang Islam butuh itu.

Soal universitas yang terpapar paham radikal?

Sebetulnya kita sudah tahu dari dulu. Ini yang sudah sering saya omongkan dari dulu, sejak awal tahun 2000. Saya sudah bicara dari dulu. Saya tidak kaget. Karena perkembangan Islam garis keras lebih banyak di perguruan tinggi yang sekuler. Karena orang yang kuliah di perguruan tinggi sekuler tidak dibekali dengan pengetahuan Islam yang solid, sehingga mereka mudah terkecoh dengan ideologi yang mengatasnamakan Islam yang menyodorkan solusi yang dianggap paling hebat untuk melawan kapitalisme global dan hegemoni Amerika. Karena mereka tidak dibekali dengan hal itu. Kalau mereka belajar Ihya, mereka tidak akan terkecoh dengan ideologi seperti itu.

***

Terlahir dan besar di lingkungan berlatar Nahdlatul Ulama (NU), sosok Ulil Abshar Abdalla berkembang menjadi salah satu pemikir yang notabene kerap terlibat kontroversi. Hal itu terutama lantaran pandangan-pandangannya yang sering dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam secara tradisional oleh sebagian orang, sesuatu yang membuat nyawanya bahkan beberapa kali sempat terancam.

Lelaki kelahiran Pati, Jawa Tengah 11 Januari 1967, ini adalah juga menantu dari salah satu tokoh NU, KH Mustofa Bisri (Gus Mus). Sempat berkuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara dan mendapatkan gelar sarjana dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA), Ulil juga telah meraih gelar master dari Boston University, sebelum meneruskan untuk gelar PhD di Harvard University.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI