Max Lane: Kenapa Indonesia Takut Ajarkan Pramoedya di Sekolah?

Reza Gunadha Suara.Com
Senin, 02 Juli 2018 | 08:03 WIB
Max Lane: Kenapa Indonesia Takut Ajarkan Pramoedya di Sekolah?
Max Lane di perpustakaan pribadinya, Daerah Istimewa Yogyakarta. [Suara.com/Somad]

Kapan anda kali pertama datang ke Indonesia, dan bekerja sebagai apa?

Saya ke Indonesia tahun 1969 sebagai mahasiswa jurusan studi Indonesia University of Sidney. Kala itu, saya hampir setahun di Indonesia. Berkunjung 1 sampai 4 bulan secara rutin, tergantung situasi. Saya tinggalnya pindah-pindah, berkeliling melihat Indonesia, paling banyak di Pulau Bali dan Jawa. Saya juga ke Singapura dan Malaysia.

Kapan kali pertama anda bertemu dengan Pramoedya? Di Mana?

Kali pertama bertemu Pram tahun 1980 di Utan Kayu, Jakarta. Diantar teman yang pernah menjadi mahasiswa Pram saat ia mengajar di Universitas Res Publika (dihancurkan saat Soeharto mulai berkuasa).

Saya bertemu dia tahun 80-an itu setelah keluar dari Pulau Buru. Ngobrol macam-macam, terlalu banyak untuk diingat-ingat. Dia cerita banyak pengalaman hidupnya saat ditangkap, kadang membicarakan sejarah Indonesia, politik Indonesia. Banyak hal yang ia ceritakan.

Seperti apa Pram menurut Anda?

Pram orangnya sangat luar biasa. Ia bisa membuat buku yang sangat bagus. Ia banyak bercerita tentang pengalamannya. Bumi manusia dan tetralogi adalah karya puncaknya menurut saya.

Buku Pram terkait asal usul Indonesia belum ada tandingannya. Inti karyanya adalah sebuah pertanyaan “dari mana datangnya Indonesia ini?” Selanjutnya, dia mulai menulis tentang hal itu. Ya, dia menulis semua itu saat di Pulau Buru. Tapi, materi penulisannya sudah dikumpulkan sejak lama.

Bagaimana ceritanya Anda bisa menjadi penerjemah Tetralogi Pulau Buru, diterbitkan oleh penerbit mana? Dan bagaimana lika-liku penerjemahannya?

Baca Juga: Jadi Bintang Utama Serial TV Amerika, Iko Uwais Ukir Sejarah

Saya bertemu Pram tahun 80-an. Waktu itu saya bekerja di Kedutaan Besar Australia. Bung Yoesoef Ishak—eks tapol Pulau Buru dan pendiri penerbit Hasta Mitra (penerbit pertama Indonesia yang memublikasikan karya-karya Pram)—kali pertama memperlihatkan naskah Tetralogi Pulau Buru Pram kepada saya.

Waktu itu, saya membacanya sangat cepat, satu malam, karena asyik sekali. Besoknya, saya berbicara kepada mereka untuk menerjemahkan karya itu ke bahasa Inggris.

Sebelumnya, saya sudah menerjemahkan (drama) WS Rendra, kisah “Perjuangan Suku Naga”. Saya bilang kepada Bung Yoesoef dan kawan-kawan, bahwa saya sangat bersemangat menerjemahkan buku Pram.

Setelah saya terjemahkan, saya bawa dan dipublikasikan Penguin Books (penerbit buku legendaris asal Inggris sejak tahun 1935) di Australia dan Amerika Serikat.

(Max lantas menunjukkan kulit buku “Bumi Manusia” Pramoedya edisi pertama bahasa Inggris yang diterbitkan Penguin Books.)

Max Lane dan sampul buku Bumi Manusia edisi pertama bahasa Inggris hasil terjemahannya, "Tis Earth of Mankind". [Suara.com/Somad]
Max Lane dan sampul buku Bumi Manusia edisi pertama bahasa Inggris hasil terjemahannya, "Tis Earth of Mankind". [Suara.com/Somad]

Kesulitan dalam penerjemaahan Tetralogi Pulau Buru Pram apa?

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI