Minke kalau mau difilmkan, coba memfokuskan cerita di Nyai Ontosoroh, itu pendekatan untuk adaptasi. Pendekatan lain adalah memberi fokus utama pada Minke. Tantangannya memang besar, karena gambarannya Minke di satu sisi masih belajar di SMA, masih muda, pengalaman hidupnya msih minim. Tapi di lain sisi, dia adalah kalangan elite yang tadinya tidak mengenal rakyat, lalu setelah “Bumi Manusia” ia mengenal masyarakatnya sendiri.
Pengalaman hidupnya bersekolah di HBS (Hogere burger school; sekolah menengah era kolonial Belanda) melebihi pengalaman pribumi. Pertama, orang belajar di HBS itu sudah bagus. Orang jawa masuk HBS kan sulit. Sisi lain hidupnya minim, tapi di lain sisi hidupnya istimewa.
Dalam buku selanjutnya, Pram menuliskan alur hidup Minke yang menjadi orang pertama Indonesia, Manusia Indonesia pertama. Ia tidak lagi orang Jawa, orang Belanda, ia menuju ke arah orang Indonesia, meskipu ia tidak sadar.
Minke, dalam Bumi Manusia belum menemukan kata Indonesia. Tapi dia adalah orang dengan segudang pengalaman, ia sudah punya bibit berkembang menuju sang pemula. Itu tantangan besar untuk film Bumi Manusia. Mudah-mudahan mereka bisa mengadaptasikannya.
Apa harapan Anda yang harus termuat dalam film Bumi Manusia?
Buku ini banyak sekali isinya, banyak sekali pesannya, banyak sekali yang digambarkan. Saya berharap, pesan perlawanan terhadap perilaku yang tak hadir bisa ditonjolkan.
Kedua, yang lebih mendalam, film itu bisa merekam proses pematangan seseorang yang karena pengalamannya berkembang menuju orang potensial, tidak hanya menjadi orang Indonesia, sekaligus menjadi pemula kebangkitan nasional.
Yang perlu digambarkan itu bukan Minke yang sudah menjadi pendiri surat kabar Medan Prijaji, tapi perjalanan menuju ke sana, pengalaman-pengalamannya.
Apa sudah sepatutnya Pram dan karya-karyanya masuk dalam kurikulum Bahasa dan Sastra Indonesia maupun sejarah nasional?
Baca Juga: Jadi Bintang Utama Serial TV Amerika, Iko Uwais Ukir Sejarah
Sudah sepantasnya masuk. Bukan hanya Pram, banyak sekali lainnya. Sampai sekarang, buku Pram tidak diperkenalkan kepada generasi muda Indonesia, padahal sudah lebih dari 35 tahun Soeharto tumbang.
Harapan saya kepada pemerintah Indonesia agar kurikulum dirombak, supaya sama dengan negeri lain. Selain itu, perlu ada pelajaran wajib karya sastra besar yang dibaca oleh murid SMP dan SMA tanpa ada sensor.
Kenapa demikian? Menurut saya karena mempelajari sastra satu bangsa mengetahui perjalanan suatu bangsa itu. Dengan membaca novel, cerpen, sajak, maka mereka akan mengetahui bagaimana proses bangsanya terbentuk.
Saya di Australia, sejak kelas SMP sudah membaca novel, lalu membuat resensi. Amerika, Singapura, Malaysia sama. Hanya Indonesia yang tak ingin membaca sastra.
Penguasa tak ingin rakyatnya membaca sastra. Mengapa penguasa tak ingin melihat rakyatnya membaca karya Pram dan sastra pada umumnya? Ini pertanyaan besar yang perlu dijawab.
Di luar negeri, pengarang besar harus dibaca siswa di tingkat SMP, SMA. Banyak yang memberikan buku Pram untuk dibaca.