Azriana: Perlindungan Hukum Perempuan Korban Minim Sekali

Senin, 19 November 2018 | 13:48 WIB
Azriana: Perlindungan Hukum Perempuan Korban Minim Sekali
Ketua Komnas Perempuan, Azriana. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)

PK, belum diajukan. Tapi mereka sedang merencanakan. Untuk itu saya rasa pengacara Baiq Nuril sedang mempersiapkan mempelajari hal-hal karena PK kan ada persyaratan yang harus dilalui.

Bagaimana sikap Komnas Perempuan terhadap putusan Baiq Nuril?

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyesalkan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 547 K/Pid.Sus/2018 yang telah membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri (PN) Mataram yang menyatakan BN bebas dari seluruh tuntutan dan tindak bersalah melanggar Pasal 27 Ayat 1 juncto Pasal 45 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

BN, seorang perempuan korban pelecehan seksual di Mataram, yang diduga dilakukan oleh H. Muslim, orang yang melaporkannya ke polisi dengan tuduhan pelanggaran UU ITE. Jaksa Penuntut Umum pada kasus BN ini mengajukan Kasasi terhadap putusan PN Mataram tersebut, dan oleh Majelis Kasasi yang dipimpin Hakim Agung Sri Murwahyuni, pada 26 September 2018, membatalkan Putusan PN Mataram dan menjatuhkan vonis hukuman enam bulan penjara kepada BN dan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan.

Dalam pandangan Komnas Perempuan, putusan Mahkamah Agung ini telah tidak sejalan dengan semangat Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Hakim mengadili Kasus Perempuan Berhadapan dengan Hukum (Perma 3 Tahun 2017), yang mencoba untuk mengintegrasikan dimensi gender dalam proses pemeriksaan perkara di pengadilan.

Pada Pasal 4 Perma 3/2017 disebutkan: “Dalam pemeriksaan perkara hakim agar mempertimbangkan kesetaraan gender dan non diskriminasi, dengan mengidentifikasi fakta persidangan: ketidaksetaraan status sosial antara para pihak berperkara, ketidaksetaraan perlindungan hukum yang berdampak pada akses keadilan.

Nah ini tepat sekali dengan kasus ibu Nuril. Kita tahu di Indonesia perlindungan hukum untuk perempuan korban itu minim sekali. KUHP sangat terbatas mengenali kekerasan seksual.

Nah itu kondisi perlindungan hukum di Inodnesia untuk perempuan korban kekerasan seksual. Nah kondisi korban kekerasan seksual seperti ini kemudian dengan adanya UU ITE jadi dihadap2kan dengan UU yang mengatur perlindungan terhadap siapapun yang akan disasar oleh pelanggaran UU itu sedemikian luas.

Jadi ini sebenarnya ada ketidaksetaraan perlindungan hukum dalam kasus Ibu Nuril ketika dia berhadapan dnegan dua situasi. Satu situasi di mana hukum sangat melindungi walaupun kita juga perlu memberikan catatan untuk UU ITE sendiri yang kita lihat jadi rentan sekali untuk mnejadi alat kriminalisasi. Nah tapi di sisi lain dia jadi korban kekerasan seksual yang hukum itu minim sekali untuk bisa melindungi, nah Bu Nuril ada di posisi ini.

Baca Juga: Jokowi Tak Bisa Tolong Baiq Nuril Pasca Putusan MA

Harusnya Hakim di Mahkamah Agung memperhatikan situasi ini karena permanya sendiri permanya Mahkamah Agungnya sudah mengharuskan untuk mengatur tentang itu, jadi itu yang kita sesalkan putusan MA ini justru membatalkan putusan pengadilan pertama dan memberikan putusan yang diberikan MA ini sesuai dengann tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Jadi ini tuntutan Jaksa Penuntut Umumnya, 6 bulan dan denda 500 juta. Soal alat bukti dikembalikan ke siapa ke siapa itu juga sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum.

Jadi kalau sekarang kan ada CD. CD rekaman yang dikemablikan kepada Muslim yang kita juga kita tahu karena kita belum pelajari putusan Mahkamah Agung, belum keluar ya jadi belum bisa dipelajari.

Harusnya barang-barang bukti tentang satu kejahatan harusnya kan dimusnahkan oleh negara. Tapi ini dikembalikan kepada Muslim dan kita tahu kita sudah berkomunikasi dengan Ibu Nuril juga dengan kuasa hukumnya kemarin, Pak Joko dari Universitas Mataram, kawan-kawan yang mendampingi ibu Nuril selama ini.

Rekaman di dalam handphonenya Ibu Nuril kan sudah tidak ada lagi, sudah hilang, ya mungkin dia bisa gunakan untuk membuktikan pelecehan seksualnya itu tapi sekarang sudah hilang. Jadi ketika dikembalikan ke Ibu Nuril itu isinya sudah tidak ada.

Tapi, saya rasa bukan berarti tidak bisa diungkapkan karena kita akan coba transkrip dari pelecehan seksual itu kan ada di dalam putusan pengadilan. Itu situasi hambatan akses keadilan yang dihadapi ibu Nuril saat ini.

Kami sudah mempelajari putusan peengadilan pertamanya, memang kasus pelecehan seksualnya ini kita sayangkan. Kasus pelecehan seksualnya itu tidak pernah dikembangkan sejak dari penyidikan. Mungkin karena ini juga situasi lain dari sistem hukum di negara kita.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI