ABC, kantor berita Australia, pada Rabu (17/5/2017) atau setelah Pilkada DKI selesai, menerbitkan artikel menarik, yakni menyebut kemenangan mengejutkan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno sebagai kemenangan kaum radikalis Muslim.
Namun, Vedi R Hadiz—ilmuwan sosial Indonesia yang menjadi Professor of Asian Studies di Asia Institute, University of Melbourne, Australia—memunyai penilaian berbeda.
Menurutnya, Pilkada DKI yang dianggap sebagai miniatur pertarungan Pilpres 2019 bukanlah palagan yang dimenangkan oleh kaum radikalis Islam ataupun populisme Islam.
Begitu pula gerakan-gerakan dari sejumlah kelompok Islamis menjelang Pilpres 2019, baik yang mendukung Prabowo – Sandiaga maupun Jokowi – Maruf Amin.
Menurut Vedi, pemenang dalam Pilkada DKI 2017 justru adalah klik oligarkis atau segelintir orang yang menguasai sumber daya politik maupun ekonomi skala besar.
"Sebenarnya pihak pemenang seperti dalam Pilkada DKI itu adalah sebuah faksi oligarki politik di Indonesia yang telah memobilisasi sentimen populisme Islam," ujar Profesor Vedi.
Ia mengatakan, identitas politik Islam yang secara tradisi selalu berada di tengah pentas politik Indonesia selalu terfragmentasi atau terbelah-belah.
Karenanya, tidak pernah ada satu organisasi politik yang tunggal sebagai representasi keinginan ”umat”. Kata ”umat” sendiri diartikan Vedi sebagai terminologi pengganti ”rakyat” (the people) dalam skema pemikiran populisme.
Ketika kekuatan Islam politik tersebut terserak, massa pendukungnya menjadi sasaran empuk bagi kelompok atau elite untuk dimobilisasi demi kepentingan mereka sendiri.
Baca Juga: Sudah Pilih Jokowi, Warga Tabanan Bali Tolak Sandiaga
Vedi menuturkan, mobilisasi politik identitas Islam yang terfragmentasi tersebut, mensyaratkan adanya kontroversi yang konstan sehingga upaya itu efektif serta berhasil.