Mereka belum memunyai organisasi sampai ke akar rumput dan bersifat koheren untuk memelihara loyalitas massa, di luar waktu-waktu yang penuh gejolak politik seperti ketika ada pemilihan umum.
Maka gejolak itu pun sewaktu-waktu harus dibikin, untuk mempertahkan ’eksistensi’ politik di luar masa pemilihan itu.
Jadi, saat ini, kelompok Islam politik dan faksi oligarki mungkin lebih tepat dikatakan saling memanfaatkan.
Namun, bargaining position kelompok Islam politik terhadap oligarki dapat segera memudar setelah pilkada/pemilu.
Contohnya adalah bagaimana FPI dikesampingkan dalam perayaan kemenangan Anis Baswedan tahun 2017.

Kelompok Islam politik menilai aksi-aksi mereka hingga berkecimpung dalam dukung-mendukung pasangan calon pilpres adalah bentuk perlawanan terhadap diskriminasi atau penindasan negara terhadap Islam, apa benar begitu? Bagaimana dari kaca mata historisitasnya di Indonesia?
Narasi yang dipergunakan adalah, memang, mereka mewakili umat yang sama dengan kelompok tertindas sejak zaman kolonial hingga masa awal kemerdekaan, hingga masa Orde Baru dan zaman demokrasi sekarang.
Di situlah simbol-simbol keumatan bertemu dan bergumul dengan perjuangan ekonomi politik konkret. Tetapi, menurut saya – kalau kita bicara pemilu 2019 misalnya– siapa pun yang menang tidak akan mengubah kondisi ketidakadilan sosial di Indonesia.
Sebab, kedua belah pihak (dua peserta Pilpres 2019) didukung oleh faksi-faksi oligarki yang sama-sama memuat kepentingan untuk mempertahankan sistem yang menjamin akumulasi modal dan kekuasaan di tangan segelintir orang.
Baca Juga: Sudah Pilih Jokowi, Warga Tabanan Bali Tolak Sandiaga