Suara.com - Meneliti land subsidence sudah ia lakoni sejak masih mahasiswa. Kala itu, 2007, ia diajak sang dosen melakukan akuisisi data untuk riset penurunan tanah di pesisir pantai utara Jakarta. Seolah menjadi destiny-nya, hingga kini pun ia masih berkutat melakukannya.
Tak hanya di Pantura Jakarta, Heri Andreas, 44, pun mengamati fenomena yang ia sebut sebagai silent killer ini di sejumlah tempat lain di Nusantara, seperti Pesisir Pantai di Jawa, Pesisir Timur Sumatera, sebagian pesisir gambut wilayah Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.
Menurut hitungannya, ada 112 wilayah kabupaten/kota yang mengalami penurunan tanah dan banjir rob. Kondisi ini cukup mengkhawatirkan. Model proyeksi hasil pengamatannya di lima wilayah, yakni Jakarta, Pekalongan, Demak, Semarang, dan Pontianak, menunjukkan gambaran mengerikan. Dalam kurun waktu 30 tahun, jika tidak ada aksi, maka jutaan hektar daratan bisa hilang permanen, tenggelam ke dalam laut.
Ancaman itu begitu nyata. Apalagi menurut peneliti yang demi menjaga objektivitas masih enggan menerima dana penelitian dari pemerintah ini, masih ada saja yang belum percaya fenomena penurunan tanah terjadi. Jadi, Indonesia itu unik, menurutnya.
"Kekhawatiran kita itu, kita debat terus sekarang, nggak ada aksi... tiba-tiba hilang. Tiba-tiba baru sadar gitu," kata Doktor Geodesi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) itu.
Berikut wawancara utuh --selama sejam lebih-- kontributor Suara.com, Rin Hindryati, dengan Heri Andreas, Kamis (18/6) malam via Zoom, usai dia menjadi narasumber di acara "Workshop Rembug Warga Penanganan Rob Pekalongan":
Kapan Anda mulai melakukan penelitian fenomena penurunan tanah?
Pertama kali ikut meneliti land subsidence itu tahun 1997. Waktu itu saya masih mahasiswa. Ikut dosen melakukan akuisisi data untuk riset penurunan tanah. Nah, saya ikutan. Awalnya ingin rame-rame aja sama teman, diajakin dosen ke Jakarta ngukur, tahun 1997. Pengukuran penurunan tanah dilakukan per tahun. Jadi tiap tahun kita ke sana.
Sampai akhirnya saya lulus, kemudian. Saya tidak nyari kerja karena ditawari, "Ya sudah, kamu di kampus aja." Akhirnya terus ikutan riset tersebut.
Baca Juga: Bukan Utara dan Barat, Ini Wilayah Terbanyak Banjir di Jakarta
Sampai akhirnya sekarang ketagihan untuk terus riset. Ya sudah, saya terus riset-riset terkait penurunan tanah. Sebetulnya ada juga bidang riset lainnya.
Temuannya apa? Jakarta (akan) tenggelam?
Ketika 1997 itu yang kita temukan hanya nilai penurunan tanah di Jakarta. Di beberapa tempat (penurunannya --Red) ada yang sekian centimeter per tahun. Tetapi waktu itu topografi Jakarta sepertinya masih di atas permukaan laut. Jadi hanya tahu bahwa Jakarta itu turun.
Di 2007, baru muncul rob di Jakarta.
Banjir rob muncul, kemudian setelah kita analisis, waktu itu sih kita menduganya karena ada kenaikan muka air laut akibat efek global warming. Jadi, "Oh, ini akibat global warming yang perubahan iklim; es mencair, kemudian air laut menjadi tinggi. Itu yang sebabkan banjir."
Tetapi setelah kita teliti data sea level rise, itu kecil. Ternyata hanya sekitar 6 milimeter per tahun.
Nah, kemudian baru kita terbesit, "Ini kayaknya yang tanah turun, akhirnya topografinya di bawah laut." Baru dari situ sadar bahwa: "Wah! Ini ternyata efek penurunan tanah, signifikan terhadap banjir rob."
(Pada 2007 air laut naik ekstrem, banjir rob menerjang Jakarta Utara, merendam rumah-rumah --Red)
Pada 2010 baru saya coba modelkan, bagaimana pola dari banjir rob yang terjadi di Jakarta. Sehingga ketika diproyeksikan, barulah keluar kesimpulan: Jakarta bakal tenggelam. Model itu baru kita buat di 2010.
![Kondisi bangunan rusak dan terendam akibat penurunan tanah di kawasan utara Jakarta. [Dok. Heri Andreas]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2020/07/02/29325-kondisi-bangunan-terendam-akibat-penurunan-tanah-di-kawasan-utara-jakarta.jpg)
Saat itu fokus penelitian masih Jakarta? Atau sudah melihat pesisir pantai yang lain?
Waktu itu sudah dengan Semarang. Jadi 2006 itu Semarang sudah mulai. Di Semarang itu juga kira-kira hampir mirip. Di 2007-2008 rob-nya mulai ada. Mulai menjadi pusat perhatian waktu itu.
Di tahun 2000-an awal, sama juga seperti halnya di Jakarta. Sebenarnya masih silent. Belum ada isu besar tentang banjir rob. Jadi 2006 kita juga mulai di Semarang. Jadi, Jakarta dan Semarang, dan di Bandung. Tapi Bandung kan bukan pesisir.
Pada 2010, Anda simpulkan di Jakarta terjadinya penurunan tanah. Apa penyebabnya?
Betul, banjir rob ini merupakan salah satu dampak dari penurunan tanah. Penting juga kita untuk melihat, apa faktor penyebabnya. Karena nanti urusannya ke mitigasi dan adaptasi. Kita harus tahu dulu faktor penyebabnya. Akhirnya kita melakukan riset lanjutan, mencari fakta.
Penyebabnya hingga saat ini masih didiskusikan.
Memang setelah 2010, kita mulai cari fakta penyebabnya. Kalau saya menyimpulkan, ada 7 faktor penyebab terkait penurunan tanah itu.
Pertama, kompaksi alamiah. Jadi secara natural (alamiah), turun. Kalau di lapisan sedimen muda, aluvium, secara alamiah memang turun sendiri. Ini namanya kompaksi alamiah. Kedua, kalau kita kasih beban tanah itu. Beban dari urugan, beban dari infrastruktur, itu bisa tambah turun tanahnya.
Ketiga, apabila kita eksploitasi air tanah. Apalagi eksploitasi yang sangat berlebihan, itu juga bisa menyebabkan turun. Keempat, bisa karena ada efek tektonik. Kalau kita mengenal istilah pergerakan lempeng, interaksi antar lempeng, maka manifestasi dari interaksi antar lempeng ini bisa sebabkan efek penurunan tanah.
Saya menemukan lagi faktor kelima, yaitu eksploitasi minyak dan gas. Ketika minyak dan gas dieksploitasi, itu menyebabkan tanah juga turun. Tapi nanti kita lihat, kasus di Jakarta kan tidak ada eksploitasi minyak dan gas, berarti faktor ini tidak ada. Tapi faktor secara general itu harus dimasukkan dulu. Eksploitasi minyak dan gas sebagai faktor kelima.
Lalu yang keenam, faktor ekploitasi geothermal serta tambang bawah permukaan yang relatif besar. Itu juga bisa sebabkan tanah turun, meski tidak terlalu besar turunnya. Dan yang ketujuh (terakhir), itu urusannya dengan pengeringan lahan gambut.
Ketujuh faktor inilah sebagai faktor yang menyebabkan penurunan tanah. Di wilayah-wilayah tertentu dimungkinkan tidak semua faktor ada. Jakarta, misalnya, gambut tidak ada, migas tidak ada. Tapi mungkin di satu tempat lain, semua faktor itu ada. Bisa dimungkinkan seperti itu.
Kalau di Jakarta, kontribusi terbesar penurunan tanah dari mana?
Nah! Sebenarnya kita sudah melakukan riset cukup lama terkait faktor yang terjadi di Jakarta. Saya coba kalkulasikan secara matematis sederhana saja.
Kompaksi alamiah itu rata-rata biasanya 2 centimeter per tahun. Secara alamiah, tanah bisa turun 2 centimeter. Efek tektonik, setelah kita teliti hanya 2-3 sampai 5 milimeter per tahun. Berarti total 2,5 cm.
Kalau kita lihat, di Jakarta ada yang turun sampai 20 cm, ambillah rata-rata penurunan 10 cm. Berarti hitung-hitungannya sebagai berikut: kalau kompaksi alamiah 2 centimeter, faktor tektonik 5 milimeter, berarti sisanya (10-2,5) 7,5 centimeter itu dari mana?
Kita cari lagi faktor lainnya. Ketika di sana gambut tidak ada, migas tidak ada, geothermal tambang bawah permukaan juga tidak ada, berarti yang 7,5 cm itu akibat eksploitasi air tanah. Nah, kalau kita presentasikan, total 10 centimeter, maka 7,5 centimeter itu sama dengan 75%. Hitungan matematika sederhananya seperti itu.
Ketika ditanya faktor dominannya apa, ya, eksploitasi air tanah. Berapa persen? Ya kira-kira di situlah di angka 70%.
Tetapi itu pun masih diperdebatkan juga oleh para peneliti lain. Ya... uniklah kalau di Indonesia. Kalau di luar negeri sudah tidak ada lagi perdebatan sebenarnya.
Menurut Anda, mengapa masih ada perdebatan?
Itu tadi yang saya bilang: uniknya ya di situ. Saya juga belum tahu jawaban pastinya, kenapa masih hangat diskusinya.
Oh ya, saya tadi lupa sebenarnya ada faktor lain, yakni pembebanan. Ini mungkin (kontribusi pada penurunan tanah --Red) setengah centimeter, ada yang 1 cm. Jadi kita andaikan saja 60-70% itu penyebab penurunan tanah di Jakarta karena pengambilan air tanah. Berarti tetap masih dominan.
Namun demikian, ya itu tadi yang saya bilang, masih diskusi hangat.
Padahal kalau kita lihat di luar negeri, sudah enggak ada. Tapi di Indonesia masih. Makanya saya bilang, "Wah, unik Indonesia itu orangnya." Ya, mungkin kita memang harus berbedalah... haha... dibandingkan dengan orang luar negeri. Jadi itulah faktanya seperti itu.
Padahal kalau sudah sepakat faktor penyebabnya, maka solusinya kan bisa dicari?
Iya, jadi tadi bahwa kesepakatannya belum terjadi, itu yang pertama. Sehingga ketika belum bersepakat, akhirnya solusinya juga belum sepakat. Karena itu tadi, penyebabnya saja belum sepakat.
Kemudian, ketika ada misalnya sebagian orang sudah sepakat --menurut saya sebenarnya lebih banyak yang sepakat-- terkait penyebab turunnya tanah karena eksploitasi air tanah, dibandingkan yang kontra, maka selanjutnya pada mikir lagi, "Kalau kita misalnya mengurangi atau bahkan menghentikan pengambilan air tanah, pertanyaan berikutnya: suplai air dari mana buat warga?" Setelah dilihat, ternyata kita punya masalah terkait suplai air, atau nanti berkembangnya ke water management.
Contohnya di Jakarta, di Bandung, Pekalongan. Ketika ini pasti (penyebabnya --Red) air tanah, maka kalau bisa distop. Lalu setelah distop air, ternyata tidak ada suplainya. Ini masalah juga.
Kalau Jakarta 40% tidak ada (suplai air --Red), 60% sudah ada. Kalau kita bicara Pekalongan, 80% nggak ada. Lalu nanti bagaimana suplainya, kalau air tanahnya disuruh diberhentikan? Bandung, saya kurang tahu persentasinya, tapi mungkin sama halnya Jakarta, atau lebih sedikit 50% yang punya masalah suplai.
Artinya, kalaupun kita sudah sepakat dengan masalah air tanah, ada lagi problem berikutnya.
Nah, yang menarik itu, ketika hari ini saya ketemu teman-teman di Pekalongan, itu masih ada yang tidak mempercayai penurunan tanah. Itu lebih menarik lagi! Jadi mereka bilang, "Kayaknya nggak ada turun deh tanahnya di Pekalongan." Ada yang masih bilang seperti itu. Kemudian ada juga beberapa yang bilang, penyebabnya belum tentu itu air tanah.
Menurut saya, itu sudah lazim terjadi. Tetapi saya menemukan hal menarik hari ini, (bahwa) ada yang masih tidak percaya tanah itu turun di Pekalongan. Nah!
Kalau tidak ada kesepakatan, maka solusinya pun jadi tidak dibicarakan. Apakah Anda tidak khawatir?
Tadi kita sudah bicara faktor penyebab penurunan tanah. Kalau penyebab rob, itu lain cerita. Kita baru bicara faktor penyebab penurunan tanah. Penurunan tanah dan juga nanti rob itu, kita istilahkan sebagai "silent killer". Jadi perlahan tapi pasti, nanti tiba-tiba kita kaget bahwa dampaknya itu begitu luar biasa.
Perhitungan ekonomi yang kita coba kalkulasikan, oret-oretan kerugian dari penurunan tanah dan banjir rob di pesisir Indonesia (itu) bisa melebihi Rp 1.000 triliun nilainya. Seandainya saat ini kita harus melakukan treatment dengan baik, itu sudah butuh dana bisa sampai 1.000 triliun rupiah.
Giant sea wall (tanggul laut raksasa yang dibangun untuk mengamankan Jakarta --Red) saja dulu sempat Rp 600 triliun, direvisi (jadi) Rp 400 triliun, katanya sekarang Rp 200 triliun. Nah, kita bisa kalkulasikan sederhana: kalau Jakarta butuh Rp 200 triliun, berarti Semarang juga kira-kira butuh Rp 200 triliun. Itu saja udah 400 triliun. Tambah Pekalongan Rp 100 triliun, Demak Rp 100 triliun. Digabung-gabungkan nanti ujung-ujungnya ya bisa nyampe di angka Rp 1.000 triliun.
Jadi, kembali lagi, bahwa itu silent killer. Mungkin satu saat kita ya terkaget-kaget karena akan menghadapi bencana luar biasa.
Itu tadi dari nilai ekonominya yang bisa mencapai Rp 1.000 triliun.
Tetapi yang lebih mengerikan ketika misalnya berjuta-juta hektar wilayah pesisir di Indonesia hilang. Pantai Timur Sumatera itu lebih dari 2 juta hektar bisa hilang. Kalau di Jawa, mungkin nilainya puluhan ribu hektar bisa hilang permanen ke dalam laut. Nah, itu kan bisa dibilang cukup mengerikan.
Jadi kekhawatiran kita itu, kita debat sekarang, nggak ada aksi segala macam, tiba-tiba hilang. Tiba-tiba baru sadar gitu.
Prediksi Anda (kalau tidak ada tindakan) dalam kurun waktu berapa lama itu bisa terjadi? 20-30 tahun?
Ada di beberapa tempat itu di 2020 sudah cukup mengkhawatirkan. Rata-rata di 2050, itu sudah dalam tahap menghkawatirkan. Berarti tinggal 30 tahun lagi.
Contohnya di Jakarta. Sekarang sudah sekitar 8.000 hektar-an sebenarnya sudah terdampak. Kemudian nanti bisa berkali lipat di 2050. Lalu di Pekalongan, menurut perhitungan kita, 80% wilayahnya itu di 2050 akan ada potensi tenggelam. Pontianak juga sama, di 2050 lebih dari 50% wilayahnya akan berada di bawah laut. Jadi kita kasih time frame-nya di 2050. Ah, sudahlah, ribut kita... itu intinya.
Apakah skenario ini pernah disampaikan ke Pemda yang wilayahnya terdampak?
Tentunya hasil riset kan harus diseminasikan. Kemudian juga harus bermanfaat buat teman-teman. Dan kita juga coba publikasikan, ada yang lewat publikasi ilmiah, ada juga lewat media, dan ada yang kita langsung kasih kirim data-datanya ke Pemda. Ya alhamdulillah, ketika pertama diragukan, ketika setelah itu datanya diperbarui, kita lebih meyakinkan untuk memberi penjelasan.
Ya, salah satunya giant sea wall. Itu kan datang dari data-data hasil riset kita dengan teman-teman di Belanda. Kita coba paparkan, akhirnya sekarang NCICD (National Capital Integrated Coastal Development / Pengembangan Terpadu Pesisir Ibukota Negara --Red) terbentuk. Jadi ya, itu salah satunya dari data yang kita berikan.
Kemudian sekarang di Pekalongan mulai pada ribut setelah kita tunjukkan data. Ribut kan itu bisa diartikan positif. Awareness nambah.
Di Semarang kan sudah ada rencana misalnya pembangunan tanggul laut disertai jalan tol. Itu juga berkat kontribusi dari hasil-hasil riset kita. Jadi, didengar sudah, kemudian ada rencana solusi juga sudah. Cuma ongoing process-nya masih terus ongoing.
Membangun giant sea wall merupakan solusi instan. Apa memang itu yang diharapkan?
Sebetulnya ada rangkaian langkah yang biasa dilakukan oleh teman-teman di luar negeri. Jadi ada langkah-langkah bakunya. Saya bisa tunjukkan lewat slide di bagian ini.
![Rencana Heri Andreas terkait penanganan masalah penurunan tanah di Indonesia. [Dok. Heri Andreas]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2020/07/02/14221-rencana-heri-andreas-terkait-penanganan-masalah-penurunan-tanah-di-indonesia.jpg)
Jadi ada serangkaian langkah dalam program manajemen bencana banjir rob dan penurunan tanah. Semuanya ada 16 langkah yang harus kita tempuh. Sementara, kalau kita bicara di Jakarta, itu baru 3 langkah saja dari 16. Kalau bicara di Pekalongan, baru 2 langkah saja.
Itu tadi yang saya maksud ongoing progress-nya. Jadi, kita masih harus menempuh jalan panjang untuk nanti solusinya maksimal.
Nah, kenapa bisa di Jakarta baru 3 (yang dikasih warna kuning pada slide --Red), padahal masih banyak lagi langkah-langkahnya? Kenapa baru 2 atau 3, ya, itu karena masih banyak diskusi itu tadi. Kesiapan juga, terutama pemerintah dari sisi penganggaran dan lain-lain.
Lembaga yang berwenangnya juga, masih menjadi pekerjaan rumah kita. Karena sampai saat ini kelembagaan ini juga masih didiskusikan terus. Minggu ini itu baru dibentuk Pokja mitigasi adaptasi penurunan tanah di wilayah dataran rendah pesisir. Baru minggu ini dibentuk Pokjanya. Padahal penurunan tanahya, banjir rob-nya, sudah 10 tahun ke belakang. Tapi alhamdulillah, akhirnya terbentuk juga melalui rangkaian yang panjang.
Harusnya saya berharap dari pembentukan ini ada proses speed-up. Tapi kita lihatlah. Kalau saya, ya dibilang optimis, tidak; tapi dibilang pesimis juga tidak. Jadi di antaranyalah.
Kalau Peraturan Daerah, apakah sudah mengakomodasi upaya mencegah banjir rob? Bagaimana pencapaiannya?
Kalau kita bicara peraturan khusus terkait isu penurunan tanah dan banjir rob, baik di level nasional, provinsi, atau kabupaten/kota, kelihatannya belum ada. Jadi, belum ada Perda Khusus.
Tapi ada beberapa peraturan yang bisa dikaitkan. Bahkan kalau merujuk ke UU Kebencanaan No. 24/2007, sebenarnya banjir rob tidak ada di situ dimasukkan sebagai bentuk bencana. Tetapi akhirnya ada diskusi antara BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) dengan Pemda, akhirnya seperti di Pekalongan, muncul Perda yang menyatakan bahwa banjir rob adalah bencana.
Kemudian ketika urusannya penurunan tanah dengan eksploitasi air tanah, sebetulnya sudah ada regulasinya seperti di Jakarta. Ada Perda pembatasan bahkan pelarangan pengambilan air tanah. Itu ada Pergub. Secara sporadis dikait-kaitkan sudah ada. Tetapi kalau khusus, misalnya peraturan yang mengatur masalah kebencanaan penurunan tanah dan banjir rob, itu belum ada.
Tetapi, apakah kita butuh peraturannya yang khusus, apakah cukup dengan peraturan yang sporadis yang bisa dikait-kaitkan kita bisa jalan? Ya, itu sebenarnya fine-fine saja.
Jadi, mungkin saja kita tidak perlu peraturan khusus, asal implementasinya, dari peraturan yang sudah ada itu bisa diimplementasi dengan baik dan benar. Tetapi ya, apakah sudah diimplementasikan? Nah, itu pertanyaan lain.
Dari studi yang Anda lakukan, bagaimana kondisi pesisir pantai Jawa saat ini, mulai dari Jakarta sampai ujung Jawa? Adakah daerah-daerah rawan yang perlu perhatian ekstra? Lalu apa proyeksi yang akan terjadi 20-30 tahun yang akan datang?
Saya share screen lagi ya...
![Bahan presentasi dari ahli Geodesi ITB, Heri Andreas, terkait hasil penelitiannya mengenai penurunan tanah di pesisir pantai Jawa dan kawasan Indonesia lainnya. [Dok. Heri Andreas]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2020/07/02/58651-peta-penurunan-tanah-di-pesisir-pantai-jawa-dan-kawasan-indonesia-lainnya.jpg)
Nah, saya akan mulai dari sini. Banjir rob dan penurunan tanah hadir di banyak area di pesisir Pantai Utara Jawa, Pantai Timur Sumatera, Pesisir Kalimantan, sebagian Pesisir Sulawesi, dan Papua.
Kalau kita lihat di pesisir Nusantara atau Indonesia, ini banyak banget. Sebenarnya potensi banjir rob yang begitu luar biasa dan juga land subsidence atau penurunan tanah, akan menjadi potensi bencana.
Jadi, ini bisa dilihat di Pantai Timur Sumatera, Pantura, sudah pasti Pantura Jawa, Pesisir Kalimantan, sebagian Pesisir Sulawesi dan Papua, ini ada.
Kalau kita hitung, ada 112 wilayah kabupaten/kota yang mengalami banjir rob, penurunan tanah saat ini. Jadi ada 112. Lumayanlah. Ini di seluruh Indonesia. Kemudian kalau kita lihat, tadi kita modelkan yang di Jakarta, kebetulan kita sudah riset di Jakarta.
![Bahan presentasi dari ahli Geodesi ITB, Heri Andreas, terkait hasil penelitiannya mengenai penurunan tanah di pesisir utara Jakarta. [Dok. Heri Andreas]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2020/07/02/89605-hasil-penelitian-heri-andreas-mengenai-penurunan-tanah-di-pesisir-utara-jakarta.jpg)
Ada penurunan tanah, bisa kelihatan sea level rise juga. Kemudian potensi banjir rob-nya kelihatan. Nah, itu ada catatannya di paling kanan (presentasi slide --Red). Jadi bisa dilihat, kalau 2020 potensinya sampai 9.000 hektar. Lalu seandainya di 2035-2050, ini sudah ada hitung-hitungannya. Mungkin di 2050 18.000-an hektar potensi Jakarta untuk tenggelam.
Untuk Pekalongan, di 2020 sudah sekitar 4.636 hektar yang terdampak banjir rob. Kemudian bisa meluas. Kita lihat di 2050 itu bisa 7.193 hektar yang berpotensi terkena banjir rob. Lalu di Semarang dan Demak, juga ada hasilnya.
Kalau kita bicara mana yang paling cepat, kelihatannya ya Pekalongan dulu. Meskipun lebih kecil dari Jakarta dalam sisi hektar luasannya, tetapi dari sisi cepatnya, Jakarta kalah. Semarang, Demak, itu luar biasa juga potensinya.
Kemudian yang terakhir itu, kita baru modelkan di Pontianak. Ternyata di 2050, ya lumayan juga nih, bisa 4.596 hektar.
Warna merah (dalam slide) itu berarti wilayah yang tenggelam?
Iya, itu di bawah laut. Nah, ini kan potensi. Kalau kita melakukan sesuatu, do something, ya mungkin ini tidak akan terjadi.
Tadi yang di Jakarta itu sampai sekian belas ribu hektar. Itu baru potensi, bisa terjadi bisa tidak. Tapi harapan kita ya nggak terjadilah.
Jadi, model-model ini kan hanya menunjukkan untuk akhirnya kita ada awereness, akhirnya kita ada aksi. Nah memang, baru 5 yang mampu kita modelkan dari 112, karena dengan segala keterbatasan yang kita punya itu.
Kondisi di Pontianak, apakah penyebabnya beda dengan di Pesisir Pantai Utara (Jawa)?
Kalau kita melihat apa yang terjadi di Pesisir Kalimantan, itu erat kaitannya dengan lahan gambut. Jadi tadi, lebih ke faktor yang paling buncit, yakni pengeringan lahan gambut. Itu menyebabkan penurunan tanah di sana. Ada juga pit lost. Jadi, selain gambut kering, ada kompaksi, ada oksidasi juga. Ketika kebakaran, ada pit lost. Itu yang menyebabkan pesisir Kalimantan berpotensi juga untuk tenggelam.
Apakah penangangannnya berbeda? Lebih mudah barangkali, karena penduduknya relatif sedikit?
Kalau penanganannya, sama-sama kompleks. Memang sedikit berbeda, tapi urusannya ujung-ujungnya sama, yakni ke urusan air. Ketika tadi bicara di Kalimantan, Pantai Timur Sumatera, urusannya dengan pengeringan gambut. Pertanyaannya, kenapa gambut harus dikeringkan?
Ternyata lahan sawit, Hutan Tanaman Industri, itu kan tanaman-tanaman yang tidak bisa terlalu basah. Sehingga level air tanahnya tidak boleh terlalu tinggi di gambut, supaya sawit itu bisa tumbuh dengan baik. Hutan Tanaman Industri tumbuh dengan baik.
Konsekuensinya apa? Kita harus menurunkan muka air tanah, supaya sawit itu kering. Tetapi akibatnya, gambutnya ikut kering. Nah, kalau gambut kering, nanti ada kompaksi, ada oksidasi. Itulah yang menyebabkan tanahnya turun.
Setelah turun terus, suatu saat si sawit akan basah lagi, karena turun, muka air tetap. Supaya tidak mati, tidak terganggu lahan sawitnya, maka diturunkan lagi muka air tanah. Proses itu, selama lahan sawit berproduksi 100 tahun, 200 tahun, maka akan terjadi penurunan. Meskipun nilainya itu hanya 2 centimeter, maksimal 5 centimeter, ya, kalikan saja 100 tahun. Lumayan juga.
Dan itu urusannya dengan air juga. Lalu apakah misalnya ketika kita bilang: ya sudah, janganlah diturunkan lagi, jangan dikeringkan gambutnya. Kita juga tidak semudah itu bilang kan? Lahan sawit begitu luar biasa luasnya, nilai ekonominya juga luar biasa. Ketika kita stop sawit, bisa dicekik orang juga kan. Sama-sama kompleks jadinya.
Penurunan tanah itu kan bukan fenomena alam, tapi man-made. Apakah pernah dibicarakan dengan para stakeholders, Pemda dan perusahaan sawit?
Ya, jadi tadi, bicara man-made, jelas kalau urusan penurunan tanah itu dibilangnya kan bencana antropogenik, artinya ada ulah manusianya di situ. Bahasa lainnya, man-made disaster. Jadi sudah firm-lah itu. Dia bukan bencana alam.
Jadi, siapa dalam tanda petik "pelakunya", jelas sudah didiskusikan. Ya, bahkan pemerintah sudah membuat Badan Restorasi Gambut. Itu salah satu upaya pemerintah untuk mencegah bagaimana kerusakan lahan gambut, termasuk di dalamnya ada penurunan tanahnya, ada banjir rob di gambut pesisir, itu sudah ada diskusi, sudah ada akhirnya bahkan.
Jadi sudah dibuat action stop kanalisasi. Drainase di situ untuk gambut, dibuat kanalisasi, dibendung. Itu sudah dilakukan. Tapi dengan luasan gambut yang sampai berjuta-juta hektar, tentunya dibandingkan dengan kapasitasnya kita sekarang, jadi sama, prosesnya masih panjang.
Sudah pernah ada respons dari pengusaha sawit?
Jadi selama izin itu ada, ketika nilai ekonomi ada, dan itu juga sebagai menguntungkan, artinya devisa juga buat pemerintah, maka itu kayak buah simalakama. Ketika pengusaha juga istilahnya bersikap "ya sudah, sawit berhenti", tetapi di satu sisi pemerintah juga nanti kerepotan karena dia penyumbang devisa yang luar biasa, maka saat ini ada dilematis.
Jadi yang saya lihat, tolong jangan dilupakan nilai ekonomi. Tolong cari solusi yang tidak bertolak belakang dengan value ekonomi. Sebagai peneliti, saya jadi tertantang juga. Jangan asal ngomong, "Ya udah, itu sawit biang keladi, nggak usah ada sawit." Tidak semudah itu.
Sekarang banyak peneliti, kayak teman-teman di Pertanian, yang berusaha mencari varietas apa gitu --saya bukan orang pertanian-- yang bagaimana misalnya hutan tanaman industri bisa tahan basah. Itu sedang dicari, dikembangkan sebagai win-win solution. Mungkin memang ada yang sudah rusak sekali lahan gambut, yang memang harus direstorasi.
Tapi di satu sisi misalnya, wah, ini kita harus membuka lahan gambut untuk pertanian, karena urusannya ketahanan pangan. Nah, win-win solution itu yang sebenarnya sekarang sedang dicari oleh semua pihak.
Dan saya bisa setuju. Ya, sama aja ketika contohnya Covid-19. Kalau kita bilang, ya sudah, kita selesaikan saja Covid, ekonomi hancur. Nggak demikian. Kita harus cari win-win solution. Akhirnya keluar new normal. Mirip juga ini, analoginya ke situ.
Hasil riset Anda disebarkan juga ke daerah terdampak?
Betul, iya. Tentunya sudah jadi kewajiban bahwa hasil penelitian harus diseminasikan. Sekarang sih, kita cukup legalah bahwa jalur komunikasi sudah lebih lancar. Sekarang pemerintah, contohnya tadi di Pekalongan, sudah bikin Pokja, didahului dari bikin road map. Sudah ada step forward-nya. BRG (Badan Restorasi Gambut) sudah dibentuk, kemudian dalam perjalanannya ada hal-hal positif. Tapi ya, butuh waktulah kelihatannya. Kita negara yang kompleks.
![Kondisi bangunan rusak dan genangan atau banjir rob yang terjadi akibat penurunan tanah di daerah Pekalongan. [Dok. Heri Andreas]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2020/07/02/65337-kondisi-bangunan-rusak-dan-genangan-atau-banjir-rob-akibat-penurunan-tanah-di-pekalongan.jpg)
Apakah pernah menemui sikap resistensi terkait hasil penelitian Anda?
Pasti masih ada. Tadi saya sudah cerita menarik, bahwa ketika hari ini ketemu teman-teman di Pekalongan, masih ada yang tidak percaya penurunan tanah terjadi. Ya, itu bisa dibilang bentuk resistensi. Tetapi dibandingkan dulu, sekarang sebenarnya sudah lebih banyak apresiasi daripada resistensinya. Jadi ke arah yang lebih baiklah.
Tapi ya, diskusi masih hangat terjadi. Ada beberapa resistensi, itu sebagai bagian dari kompleksitas negara kita lah. Negara yang kompleks, sebenarnya kaya raya. Itu balancing. Kaya satu hal, juga kaya akan problematik. Untuk itu, kita nikmati saja.
Seberapa besar kontribusi pabrik batik rumahan yang ada di Pekalongan terhadap fenomena penurunan tanah dan banjir rob?
Tentu kita sampaikan semua hasil yang kita peroleh. Data-data hasil penelitian itu ada kelebihannya, jujur juga nggak masalah. Ketika kita menyampaikan sesuatu apa adanya, itu relatif bisa diterima. Dan kita sampaikan, ini memang akibat industri. Ini akibat eksploitasi di kota-kota.
Tetapi kita tambahkan juga bahwa kita tidak bisa menyalahkan mereka sepenuhnya, karena UU menjamin masalah air itu. Bahwa masyarakat termasuk pihak industri, dia lebih sebagai pihak yang mendapatkan hak; kewajibannya (di) pemerintah. Sehingga kalau masyarakatnya masih ambil air di tanah yang memang nggak ada opsi, ya gimana lagi.
Ujungnya kembali lagi ke win-win solution. Untuk memulai sesuatu yang lebih baik lagi.
Ujung-ujungnya, kalau kita lihat kasus di luar negeri, di sana sudah zero groundwater extraction, sudah ada water recycling yang masif, water harvesting sudah diprogramkan dengan baik.
Nah, kita sedang menuju ke arah sana, dengan yang sekarang prosesnya win-win solution untuk sampai akhirnya dapat format yang bagus. Sehingga ketika nanti masih ada industri yang nakal, ambil air tanah langsung, ya sudah, itu kita bisa dengan saklek salahkan mereka. Kalau sekarang, ya mau gimana lagi. Karena susah juga kalau mereka kita salahkan; mereka bisa salahkan balik.
Apa yang Anda dapatkan selama mengikuti dua event diskusi dan workshop di Pekalongan?
Kalau tadi bicara rangkaian langkah yang sudah saya sebutkan, jumlahnya ada 16, di mana saat ini kita masih 2-3. Sepertinya kita masih akan berputar-putar di situ. Jadi kita masih berjalan sangat perlahan. Kita baru utak-atik di 2 langkah penanggulangan, dan dua ini pun masih belum maksimal dilaksanakan.
Tapi poin pentingnya, ini tidak hanya di Pekalongan, termasuk juga di Jakarta. Sudah ditanggul. Eh, tapi kemarin jebol ya, di Pantai Mutiara. Stres lagi.
Itulah karena dari 16 langkah yang harus dilakukan, kita masih melakukan sebagian kecil aja. Jadi saya bilang kalau sedang kesal, "Ini kok kita mbuled aja di situ." Tapi, ya sudah, kita coba maklum lagi ini. Tolong, mudah-mudahan ada speed up.
Saran Anda?
Sebenarnya tadi rangkaian langkahnya sudah jelas. Saya bisa katakan kalau kita copy-paste saja apa yang pernah dilakukan oleh teman-teman di luar negeri, ya sudah, sebenarnya beres urusannya. Jadi nggak usah lagi ribet-ribet nyari faktor penyebab, bla.. bla.. bla...
Sebenarnya copy-paste aja dijalankan, itu sebenarnya sudah akan ada hasilnya. Tetapi nanti kembali, kesiapan kita seperti apa. Kalau kita lihat semua mengandalkan ke pemerintah, mungkin akan tetap pelan melangkahnya.
Nah, saya sekarang sedang merencanakan bersama teman-teman dari NGO, pemerhati, akademisi, kita coba istilahnya ini pentahelix dalam ngurusi masalah penurunan tanah dan banjir rob.
Kita ingin melaksanakan program partisipatif dalam pemetaan risiko bencana. Kemudian dalam mitigasi adaptif, juga disesuaikan dengan kemampuan kita, secara partisipatif. Sambil pemerintah juga dia mengerjakan programnya. Kemudian nanti ada titik temunya, maka speed up-nya dapat.
Ini saya perlihatkan slide terakhir... Ini yang ingin saya sampaikan. Program ini dimotori oleh Yayasan Mitigasi Hub Indonesia, nama lainnya Bandung Mitigasi Hub. Kita sedang merencanakan program ekspedisi untuk pemetaan partisipatif, pemetaan risiko banjir dan rob, dan penurunan tanah di pesisir Nusantara.
![Rencana program bersama dari ahli Geodesi ITB, Heri Andreas, terkait masalah penurunan tanah di Indonesia. [Dok. Heri Andreas]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2020/07/02/70180-rencana-program-bersama-dari-ahli-geodesi-itb-heri-andreas-soal-masalah-penurunan-tanah.jpg)
Tadi kan saya sebut ada 112 kabupaten/kota. Jadi nanti melihat risiko banjir rob, penurunan tanah di pesisir Nusantara yang ada di 112 wilayah kabupatan/kota. Kita sendiri di ITB sudah membuat 5 model. Mudah-mudahan kalau kita bekerja bersama-sama, dengan semangat partisipatif, harusnya kita mampu membuat beberapa model. Syukur-syukur bisa 112 akhirnya kita bisa modelkan bersama-sama.
Kita kasih ke pemerintah hasilnya, atau nanti pemerintah juga bisa bikin beberapa dan secara partisipatif berapa. Nah, kita namakan Ekspedisi Atlantis. Mudah-mudahan itu sebagai speed-up-nya.
Karena tadi kalau kita bicara antropogenik, sebenarnya kan pelaku-pelakunya sudah jelas.
Kalau kita bisa menggedor, "Eh, tolong dong..." Kalau misalnya kayak perusahaan sawit. Sudahlah, kita coba petakan risikonya apa. Kerjakan bareng-bareng, sehingga bisa disadari secara bersama. Daripada saya teriak-teriak doang research, teman-teman misalnya di pihak industri tidak percaya.
Kalau kita research bareng, bisa ketahuan hasilnya. Itu partisipatif. Kalau ada orang yang energinya lebih bisa untuk "saya ingin berbuat baik untuk bangsa dan negara" (itu) bisa gabung.
Ada juga, jika inginnya take advantage "saya ingin gabung tapi dapat value" misalnya. "Saya bisa tahu untuk investasi daerah-daerah mana yang berpotensi bencana atau tidak." Bisa saja kita gabungkan seluruh elemen kepentingan.
Jadi model partisipatif itu seperti apa?
Sebuah proses itu elemennya banyak. Kalau ada yang misalnya ingin ikut sebagai tim research, bisa pergi ke lapangan. Ingin jadi volunteer, boleh-boleh saja. Kemudian ada yang ingin, "Saya kasih funding aja." Jadi, kita coba kumpulkan semua kontribusinya. Tentunya ketika semuanya mau jadi tim research, tidak ada yang kasih funding, ya tidak akan jalan.
Jadi memang nanti ya, modelnya karena partisipatif, ya didiskusikan bersama. Kalau ternyata, misalnya, ada yang, "Wah, saya mah males pergi-pergi, tapi saya punya uang. Udahlah ini saya kasih, nanti nama saya tolong disebut disitu." Itu bisa.
Saya lihat beberapa format ekspedisi seperti itu, pernah dilakukan teman-teman di Wanadri. Mereka bikin ekspedisi pulau-pulau terluar Nusantara dalam menjaga keutuhan NKRI, banyak juga yang mau jadi donatur.
![Kondisi bangunan rumah warga akibat penurunan tanah di daerah Semarang. [Suara.com]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2020/07/02/70118-kondisi-bangunan-rumah-warga-akibat-penurunan-tanah-di-daerah-semarang.jpg)
Bagaimana menjaga objektivitas penelitian?
Ya, tentunya kalau kita di research itu lebih enak. Ketika hasil risetnya seperti apa, funder juga kadang-kadang bilang, ya hasilnya seperti itu, ya seperti itu, meskipun sudah didanai.
Tetapi kita juga akan selektif. Misalnya kalau sudah ada conflict of interest, kita cari yang lain yang bisa sama-sama lebih objektif.
Selama ini kan saya tidak mau minta dana penelitian ke siapa pun, termasuk ke pemerintah. Saya hampir tidak pernah minta dana penelitian karena ingin menjaga objektivitas. Padahal kalau kita sebagai dosen peneliti, itu kalau mengajukan ke Dikti (Ditjen Pendidikan Tinggi), kita lumayan dapat dana penelitian.
Tetapi saya masih ada beberapa hal di dalam pemikiran saya yang "tidak dulu deh untuk minta ke mereka" karena ada satu dan lain hal. Salah satunya objektivitas.
Jadi Mas Heri masih belum mau terima dana penelitian dari pemerintah?
Sampai sekarang masih belum. Saya terakhir dipaksa, dan itu akhirnya menerima 2 tahun karena urusannya nanti harus ada record. Masak peneliti tidak pernah mendapat dana dari pemerintah. Nanti akan susah untuk kenaikan jabatan. Ada kum. Kalau saya tidak pernah mendapatkan dana penelitian, nggak akan pernah jadi profesor. Akhirnya, ya sudah, saya menerima 2 tahun lah, kalo nggak salah. Habis itu saya nggak lagi. Waktu itu saya hanya ingin ada catatan saja, bahwa saya pernah meneliti dengan menggunakan dana Dikti. Karena masih ingin mempertahankan objektivitas.
Menurut saya, sebenarnya kalau kita wajib meneliti, kita wajib didanai. Ketika ada teman-teman saya tidak didanai dan saya didanai karena proposal saya lebih bagus, itu sebenarnya buat saya bukan sistem yang bagus. Harusnya kan semuanya didanai. Okelah, yang proposalnya lebih bagus, dia dananya lebih tapi. Jadi minimal ada dana minimum bahwa semua peneliti itu didanai. Tetapi ya, tidak mungkin untuk saat ini karena keterbatasan anggaran.
Nah, dari situ saya pikir, "Ya sudah deh, silakan teman-teman aja yang dapat anggaran, saya cari cara lain lewat 'pesugihan' mungkin." Hahaha...
Kembali ke skenario terburuk yang bisa terjadi di pesisir pantai Nusantara, seberapa optimis/pesimis itu bakal terjadi?
Kalau saya optimis bahwa model yang saya buat itu tidak akan terjadi. Jadi, saya optimis itu hanya skenario the worst case. Karena apa? Karena bangsa kita itu terus belajar. Mungkin sekarang masih perlahan-lahan, masih tertatih-tatih, tetapi saya yakin 10 tahun dari sekarang itu sudah lebih bagus. Sehingga mencegah 20-30 tahun dari sekarang. itu sudah bisa. Saya punya keyakinan seperti itu. Meskipun kalau lihat kondisi sekarang, ya itu, harap-harap cemas. Tapi ya, Insyaallah-lah.
Sebenarnya kondisi di Pekalongan itu kan makin tahun semakin buruk, apa Mas Heri tidak khawatir kalau penanganannya lambat?
Iya, termasuk hari ini. Saya sedikit sedih sebenarnya ketika ikutan diskusi, aduh, kok jalannya masih terlalu pelan. Tetapi kembali lagi, bahwa kita punya kemampuan untuk belajar. Jadi mungkin harus lebih sabar lagi. Tetap saya masih optimis bahwa Pekalongan sendiri pun sekarang kalau hujan, banjir, rob juga banjir, tapi pasti masih bisa kita atasi.
Ada satu hal yang menarik lagi sebenarnya, yang menambah optimisme bahwa orang-orang kita, Bangsa Indonesia, itu tingkat legowonya, tingkat kepasrahannya tinggi. Ketika sudah kena banjir rob dan datang tiap hari, mereka harus tidur dengan alas lantai basah karena kebanjiran, yang penting alas tidurnya masih kering, ya, tapi tetap saja masih bisa bersyukur, masih happy. Ini tentunya menambah optimisme kita.
Kalau di luar negeri (itu) sudah chaos, udah demo sana-sini. Tapi kalau kita lihat temen-temen di Pekalongan, ya begitu. Lah, tambaknya hilang saja masih tenang. Padahal sebenarnya kalau kita teliti lebih lanjut, ada peran pemerintahnya yang menyebabkan kawasan tambak itu hilang. Karena tanggulnya dibangun lebih ke selatan, dan yang utara-nya itu dibiarkan tenggelam aja ke dalam laut. Tapi (mereka) masih menerima, ya sudahlah nggak apa-apa.
Tapi sikap pasrah itu bukannya membahayakan?
Iya, jadi itu memang dua sisi. Kayak sisi mata uang. Satu sisi kita tidak boleh pasrah, tapi di satu sisi setelah berusaha, boleh saja pasrah. Saya lihat kondisi masyarakat yang menjadi korban ini, tidak menambah masalah bagi pemerintahnya.
Pemerintah kan sekarang lagi pusing-pusing, tapi masyarakat masih memaklumi. "Oh, pemerintah belum kasih bantuan... ya sudah." Beda halnya kalau misalnya pemerintahnya lagi kesusahan, tapi masyarakatnya sudah nuntut banyak. "Pokoknya mau nggak mau, besok saya nggak mau rob lagi. Kalo gak, ya udah..." Misalnya akan berbuat semena-mena. Nah, itu kan pemerintah bebannya jadi dobel.
Meski kalau ada pressure dari masyarakat, kan pemerintah bisa bertindak lebih cepat?
Nah, sebenarnya complicated juga ya. Tapi ya, pemerintah juga jangan pasrah. Masyarakat untuk sementara pasrah, mungkin itu akan jadi win-win solution. Jadi, pemerintah dan stakeholders, "Kamu speed-up dong!" Sementara masyarakat yang terdampak sabar dulu. Nah, kombinasi ini kelihatannya menarik. Begitulah yang berlaku di kita.
Kalau di luar negeri kan dengan pola pikir yang berbeda, ya udah... Jangankan itu, ada tetangga yang bikin satu kerusakan di rumah kita, bisa langsung tuntut, sue.
Kebayang kan (kalau) misalnya korban-korban di Pekalongan menuntut pemerintah. Rob-nya, ada banjir dituntut. Ya, nggak akan beres-beres. Nah, ini kalau saya melihat unik. Jadi itu menambah optimisme bahwa kita pasti bisa.
Orang luar negeri juga surprised. Ketika datang ke Pantura, mereka tanya "Orang-orang kenapa tidak angry? Padahal ini ulah siapa sudah jelas. Pemerintahnya seharusnya bisa berbuat lebih banyak."
"Cariin dong air. Ini kok pemerintahnya juga nyari air kayak setengah-setengah," kata peneliti luar negeri itu.
Jadi orang luar negeri sudah gemas, tapi yang di sini santai?
Iya. Mereka yang dari luar negeri udah bilangnya scarry! "Wah, ini sangat menakutkan!" Tapi yang bikin bingung, termasuk ketika mereka nanya ke saya, kok peneliti masih bisa bercanda tawa dengan teman-teman di pesisir.
"Ya, itulah," kata saya, "hebatnya Indonesia." Kita masih punya sandaran yang di atas. "Ya sudah, pokoknya kita yang penting berusaha maksimal, semua hasilnya diserahkan sama Yang Maha Kuasa."
Terimakasih Mas waktunya. Selamat jalan kembali ke Bandung.
Saya masih mau ke Cirebon besok. Mudah-mudahan dari 5 model, tambah Cirebon, bisa jadi 6 model. Habis itu, mau ke Dumai.
Kontributor : Rin Hindryati