Suara.com - Sekitar empat tahun lalu, ia nyaris kembali ke Indonesia. Kala itu pemerintah tengah gencar-gencarnya hendak mewujudkan program kendaraan listrik. Merasa cocok dengan keahliannya, Dr Mariyam Susana Dewi Darma atau yang biasa disingkat Susana Darma, pun menghubungi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT); siapa tahu keahliannya dapat bermanfaat. Sayang, aturan administratif menjegalnya.
"Umur saya sudah kadaluarsa... Untuk masuk institusi di Indonesia itu kan, dosen misalnya, maksimum 35 tahun," ujar wanita yang akrab disapa Susan itu kepada Suara.com.
Saat itu, Susan pun urung pulang. Sementara program mobil listrik terus berlanjut di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo. Tidak main-main, pemerintah bahkan menerbitkan aturan khusus tentang percepatan program kendaraan bermotor listrik yang dituangkan dalam Peraturan Presiden No. 55 tahun 2019.
Doktor lulusan Karlsruhe Institute of Technology (KIT) --perguruan tinggi terkemuka di Jerman yang berpredikat excellent terutama untuk bidang teknik mesin—- ini masih setia berkutat di bidang penelitian teknologi lithium and battery. Teknologi yang menurut mantan aktivis 1998 ini "bukan sesuatu yang konstan" sehingga ketersediaan manpower menjadi hal yang penting.
Sumber daya manusia yang terampil menjadi kunci dalam pengembangan teknologi baterai yang merupakan komponen terbesar dalam mobil listrik. Jadi, menurut dia, Indonesia harus benar-benar memperhatikan faktor tersebut jika memang serius ingin membangun ekosistem pemanfaatan mobil listrik.
Sebagai orang yang tidak memercayai adanya transfer of technology, Susan menilai pemerintah bisa bercermin pada China.
"Mereka juga awalnya dari hanya memproduksi (baterai mobil listrik), tapi kemudian (mereka) mengembangkannya dengan cara mengirim sebanyak-banyaknya mahasiswa untuk belajar ke negara lain. Mereka (kemudian) disuruh balik. Itu cara mereka upgrade," ucap dia.
Dalam wawancara yang berlangsung selama sejam via Zoom di Minggu pagi waktu Kota Karlsruhe, Jerman, Susan menjelaskan segala seluk-beluk teknologi lithium and battery, termasuk ide mengelola limbah baterai yang sudah kedaluwarsa, hingga perkembangan terkini terkait baterai post-lithium, alternatif bahan baku di luar logam lithium.
Berikut petikan lengkap perbincangan kontributor Suara.com, Rin Hindryati, dengan lulusan Jurusan Kimia Institut Teknologi Bandung tahun 2001 tersebut:
Baca Juga: Menarik, Tesla Kembangkan Mobil Listrik Rp300 Jutaan
Bagaimana Covid-19 di Jerman, masih tetap ke lab (laboratorium)?
Masih sih. Dari dulu nggak pernah berhenti. Itu sebenarnya pilihan pribadi. Jadi edaran dari kampus cuma bilang bahwa, ya, kita masa pandemi, jadi interaksinya harus dikurangi. Tapi nggak ada kayak: ini nggak boleh, itu nggak boleh. Semua tetap officially terbuka.
Tapi jadi kayak mengatur diri sendiri, siapa yang ke lab, siapa yang enggak. Dibebasin. Ada opsi mau work from home boleh, tapi yang kalau pun mau ke lab boleh. Cuma ya, memang dibatasin. Kayak sekarang itu misalnya, dua orang dalam satu lab.
Tapi dengan sistem seperti itu, bisa berjalan efektif? Tidak ada kasus penularan, misalnya?
Sampai saat ini sih efektif. Cuma memang walaupun "nggak terlalu strict", peraturannya tetap kerasa, gitu lho. Jumlah pegawai jadi semakin sedikit. Kantin tutup. Otomatis orang-orang bawa makan sendiri.
Jadi nggak completely lockdown ya?