Ya, mungkin nanti. Itu kan baru mulai. Kita lihat perkembangannya ke arah mana. Karena kita berharap juga dengan mulai disuntikkannya vaksin, mudah-mudahan itu dapat menekan penyebaran COVID. Kalo kita bisa menekan penyebaran COVID, kita bisa membuka border lagi, termasuk China.
China sekarang belum membuka bordernya. Jadi ya harus sama-sama. Kita sudah buat travel corridor dengan China, dengan Singapura, saya kira juga dengan Korea Selatan dan Jepang. Jadi perlahan-lahan, mudah-mudahan bisa segera itu diversifikasi aturan travel corridor ke beberapa sektor lain.
Oke. Masih soal digital economy. Pemerintah Jokowi telah mengalokasikan dana cukup besar untuk membangun infrastruktur terkait ketersediaan internet. Ini tentu memudahkan pekerjaan Bapak di sini untuk terus mempromosikan Indonesia lewat platform media sosial?
Betul. Kita ada bikin summit, ASEAN-China Summit… sebentar saya lupa tanggal berapa. Mustinya saya yang bicara juga di sana. Kemarin saya juga diundang bicara di China-Digital Summit di Fuco. Itu tanggal 12 Desember lalu. Acara ini sudah digelar selama 3 tahun berturut-turut, dan saya selalu kasih keynote speech di situ. Karena sekarang masih serba virtual, jadi saya kirim video saja. Nanti saya kirim videonya ke Mbak.
China Digital Summit itu luar biasa. Saya kenal banyak pemain-pemain digital besar di sini dan sudah berkunjung ke mereka semua dan mengatur kerja sama dengan Indonesia.
Infrastruktur kita juga sudah jauh lebih memadai sekarang. Coba saja lihat, sekarang muncul platform-platform digital dari kawasan timur Indonesia, dari Papua, Maluku, Manado, yang dulu kan orang gak terbayang kan. Karena infrastruktur digitalnya sudah ada, jadi sudah mudah. Ini semua memudahkan mereka untuk meng-create misalnya Kitong Bisa [startup asal Papua di mana dalam platform online tersebut berbagai produk sosial, budaya dan ramah lingkungan dijual --Red]. Itu kan dari Jayapura.
Masih ada contoh lain yang muncul dari berbagai pelosok di Indonesia. Ada dari Medan. Saya lupa nama aplikasinya, tapi ada itu. Simpel idenya, bagaimana dengan startup itu kita tahu barang yang kita beli ini palsu atau asli.
Jadi muncul startup di berbagai daerah. Ada platform penjualan produk-produk khas dari daerah tersebut yang dari UKM daerah tersebut. Jadi saya kira ini salah satu cara yang menonjol.
Kita juga sedang membahas kerja sama dengan marketplace-marketplace di China dengan di Indonesia untuk mempromosikan produk-produk UKM kita di sini. Kalo saya ada di Beijing, bisa saya tunjukkan contoh produk-produknya.
Jadi memang potensi ekonomi digital itu kan luar biasa besar ya, karena market kedua negara sama-sama besar. Hubungan bisa saling menguntungkan, begitu?
Baca Juga: Penelitian Awal Vaksin Sinovac Dilakukan di Luar Negeri, Ini Kata BPOM
Betul. Penduduk China ada 1,5 miliar orang dan kelas menengahnya sudah 600 juta. Kelas menengah ini kan selalu ingin mencoba sesuatu yang baru. Nah, produk UKM kita itu terkenal dengan keunikannya. Orang Indonesia itu kan kreatif. Produk-produk kreatif itu laku dijual.
Contoh, belum lama ini kerupuk atau shrimp cracker dari Indonesia terjual Rp 12 miliar hanya dalam tempo 18 menit. Kerupuk ini dikemas dengan bagus, mereknya ‘Papatonk’, dijual di platform digital di sini, dibantu influencer. Terjual cepat. Dia [pemiliknya] bilang ke saya: “Pak, saya akhirnya kan... pekerja-pekerja saya, bisa gak ada PHK, karena kan saya bisa jual di sini seperti itu.”
Kemarin Pak Konjen juga menjual produk-produk Indonesia di salah satu marketplace di sini. Saya belum terima laporan hasilnya berapa, tapi biasanya di platform-platform tersebut [dipakai] untuk branding, nanti jualnya di offline.
Sarang burung walet juga beberapa waktu lalu dijual dengan menggunakan platform ini. Saya sedang bahas juga dengan JD.com di sini, bagaimana kita bisa lebih mengefektifkan Paviliun Indonesia di JD.com itu.
Dengan Alibaba juga ada perjanjian khusus kan?
Sudah, sudah ada. Itu tahun 2018, waktu saya baru masuk sini. Saya hadir di penjualan online Alibaba setiap tahun. Sudah dua kali saya diundang ke sana, bertemu Jack Ma lagi.