Deasy Nurmalasari: UMKM Tetap Bisa Raup Untung dengan "Go Digital"

M. Reza Sulaiman Suara.Com
Selasa, 26 Januari 2021 | 20:16 WIB
Deasy Nurmalasari: UMKM Tetap Bisa Raup Untung dengan "Go Digital"
Deasy Nurmalasari, Ketua Tim Karya Nusantara, bicara tentang UMKM yang Go Digital. (Dok. Pribadi)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Jadi gini loh kan masing masing usaha itu beda misalkan ok ada yang ambil segmennya itu misalkan nya middle down atau kalau saya tuh mikirnya gapapa karena saya produsen yang penting yang beli ke saya banyak selisih margin sedikit gapapa tapi pengaruhnya banyak.

Ada juga misalnya saya mau ambil kopinya tapi segmen saya saya buka misalkan cafenya itu di kemang, yang notabene di sana banyak bule lebih middle up, mungkin harga kopi yang dijual bisa 50 ribu nah dijual lagi misalkan di yang segmennya mahasiswa ke bawah, ah ga akan bisa nih mahasiswa dijual 50 ribu.

Padahal HPP nya itu modalnya misalkan 2 ribu, 3 ribu, 5 ribu nah kita tinggal tambahin margin berapa itupun harus disesuaikan dengan segmen pasar kita karena Ketika kita punya tembakan menengah atas tapi kita jual murah itu juga nggak akan bisa.

Misalkan tembakannya anak anak mahasiswa yang uang nya terbatas dan kita jual mahal itu juga nggak akan kena. Itu perlu dipikirkan juga sesuaikan, hitung lagi HPPnya di breakdown, eh dimasukin sampe biaya listrik dan sebagainya kadang kadang ukm ngga dimasukin, nah ini masukin semua, cek harga sekitar, pesaing kita berapa harga pasarnya, lalu sesuaikan dengan segmen pasar kita. Ngga masalh kok HPP nya 2 ribu tapi kita jualan di kemang jadi 50 ribu karena udah beda packaging, dan semuanya.

Selain menentukan harga, kita juga harus menentukan positioning yang tadi Mba Deasy bilang. Nah, bagaimana kita memilih mau menyasar ke pasar menengah ke atas atau menengah ke bawah?

Ketika kita bimbang menengah atas atau menengah bawah, tanya aja dulu. Kalau saya ginilah minimal ruang lingkup yang bisa kalian pegang itu apa? Misalkan saya ingin jual, jualnya itu tasnya itu yang mahal banget, tapi saya sendiri aja nggak mampu untuk membeli itu, gimana saya punya lingkungan buat orang orang yang bisa beli tas semahal itu.

Pemilik warteg melayani pembeli di Warteg yang menerapkan protokol kesehatan di kawasan Cilandak Timur, Jakarta Selatan, Senin (20/7/2020). [Suara.com/Angga Budhiyanto]
Pemilik warteg melayani pembeli di Warteg yang menerapkan protokol kesehatan di kawasan Cilandak Timur, Jakarta Selatan, Senin (20/7/2020). [Suara.com/Angga Budhiyanto]

Nah itu kita harus bisa jangkauan kita karena jangan jauh jauh dulu tapi liat lingkungan sekitar kita. Salah satu ide usaha itu kita melihat masalah yang ada di sekitar kita, ga usah jauh jauh dulu yang ada di sekitar kita aja.

Bagaimana dengan perbedaan antara selling, marketing, dan branding? Mana yang harus didahulukan agar tetap untung tapi tidak sampai kehilangan pelanggan?

Kita ngomongin branding itu bukan short term tapi long term jadi kita bisa nge branding product kita sekarang mungkin impactnya itu akan dirasakan nantikan, karena membangun brand, membangun image ga bisa langsung. Harus ada membangun dulu awarenessnya, orang sadar dulu, sekarang orang orang waaaah beli KOPI!KOPI! kan orang ga gitu dulu, orang sadar dulu, oh misalkan kopi itu bikin hidup lebih hepi gitu kan, itu kan nggak langsung gleg gitukan, akhirnya dari awareness jadi punya image. Itu product kaya gitu.

Baca Juga: Pemberdayaan Disabilitas untuk Mengelola Kedai Difabis Coffee & Tea

Jadi dari branding itu kalau bagi saya kita ga bisa ngomongin, kok udah ada orang branding tapi sellingnya masih kecil? Karena branding itu panjang, awareness dulu sama productnya, orang tau dulu sama product A ini udah mulai brandingnya nanti orang tahu merek A ini adalah jualan yang mahal, keren, berkualittas, nah itu kan udah makin brand nih.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI