Rumus Lawan Covid-19, Ketua Terpilih IDI: 5M + VDJ + 3T + Vaksinasi

Jum'at, 30 April 2021 | 07:18 WIB
Rumus Lawan Covid-19, Ketua Terpilih IDI: 5M + VDJ + 3T + Vaksinasi
Ketua Terpilih PB IDI dr. Adib Khumaidi, SpOT. (Suara.com/Lilis Varwati)

Suara.com - Sebagai Ketua Terpilih Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) periode 2021-2024, dr. Adib Khumaidi, SpOT punya harapan bahwa pandemi Covid-19 akan segera berakhir, khususnya di Indonesia. Dan ia punya rumus tersendiri untuk melawan Covid-19, yaitu 5M + VDJ + 3T + vaksinasi.

Satu-persatu ia menjelaskan, bahwa 5M itu terdiri dari menjaga jarak, mencuci tangan, memakai masker, mengurangi mobilitas, dan menghindari kerumunan. Ditambah dengan VDJ yang diartikan sebagai ventilasi, durasi, dan jarak untuk tempat pelayanan publik, tempat berkumpulnya massa, restoran, mal, dan sebagainya.

Berikutnya masih ditambah lagi dengan 3T yang menjadi tanggung jawab pemerintah untuk meningkatkan kemampuan testing, meningkatkan kemampuan tracing, dan juga bagaimana mendukung sarana prasarana obat alkes dan untuk treatment. Dan ini semua, ditambah dengan vaksinasi.

"Jika rumus ini bisa dilakukan dengan baik, Insya Allah kita bisa menang melawan Covid-19 dan bisa menyelesaikan pandemi ini," katanya yakin.

Menurut dokter spesialis orthopaedi dan traumatologi yang menyelesaikan studi kedokteran di Universitas Airlangga dan spesialis di Universitas Indonesia ini, pandemi Covid-19 merupakan pembelajaran bagi kita semua.

"Pembelajaran buat kami di profesi (dokter), pemerintah, juga masyarakat. Sehingga perlu ada evaluasi dan tahapan-tahapan, serta strategi dalam penanganan Covid-19 di Indonesia. Salah satu yang harus dievaluasi adalah bagaimana memberikan suatu pembelajaran edukasi kepada masyarakat, karena problematika ini adalah problematika health emergency karena terkait kesehatan masyarakat," kata dokter yang sehari-hari berpraktik di Rumah Sakit Umum Daerah Cengkareng dan Rumah Sakit Sari Asih Karawaci ini. 

Ditemui di Sekretariat PB IDI, Jakarta, beberapa waktu lalu, Suara.com berkesempatan berbincang-bincang dengan dr. Adib mengenai penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia.

Menurut dokter, di mana posisi Indonesia dalam penanganan Covid-19 jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga?

Kalau secara goal-nya, tentunya kita berbeda. Goal di negara tetangga, katakanlah Singapura, Malaysia, ataupun Australia. Ada beberapa informasi negara bagian di Australia yang sudah kembali ke kehidupan normal.

Baca Juga: Doni Monardo: Kalau Saya Tak Ambil Keputusan, Mau jadi Apa Negara Kita?

Tapi sekali lagi, ada hal yang memang harus kita pahami bersama, Indonesia berbeda dengan mereka. Indonesia negara kepulauan, banyak heterogenitas, baik itu di masyarakat maupun di dalam suatu bersuku-suku. Tentu pendekatannya berbeda dibandingkan kalau kita lihat dari aspek apa yang sudah dilakukan di Singapura, Malaysia, maupun Australia. 

Posisi kita sekarang, terus terang memang dibandingkan dengan Singapura atau Malaysia, kita cukup ketinggalan dalam proses penanganan. Tapi ada satu hal yang kita bisa katakan terkait dengan masalah vaksin. Target vaksinasi kalau kita bicara persentase dengan 181 juta yang harus divaksin, kita masih jauh. Tapi kalau bicara secara kuantitas, dibandingkan negara tetangga, kita lebih cepat.

Tapi sekali lagi, tentunya dalam aspek dan sudut pandang yang berbeda. Sudut pandang kita melihat dari negara kita yang juga secara geografis dan suku, edukasi, kultur yang berbeda dibandingkan dengan negara tetangga.

Sebagai salah satu negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia, menurut dokter, kenapa angka infeksi Covid-19 di Indonesia tidak masuk ke dalam 10 besar, seperti halnya AS dan India?

Ada beberapa aspek yang kita juga harus lihat. Jangan melihat dari sisi kuantitas saja. Kalau saya melihatnya bukan hanya dari sisi jumlah kasus positif saja, tapi juga harus lihat kasus yang dirawat, kasus kematian. Karena kalau kita bicara positivity rate, nanti akan tergantung dari kemampuan testing.

Kemudian tergantung juga dengan tracing yang harus kita lakukan. Kita tahu peningkatan positivity rate itu, umpamanya kalau di Jakarta karena cukup masif dengan kemampuan laboratorium yang bisa melakukan testing, tapi itu bukan kemudian secara global testing kita meningkat, tidak.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI