Komisioner KPAI Retno Listyarti: PTM Jangan Dipaksakan, SOP Harus Dipastikan Berjalan

Selasa, 14 September 2021 | 06:10 WIB
Komisioner KPAI Retno Listyarti: PTM Jangan Dipaksakan, SOP Harus Dipastikan Berjalan
Ilustrasi wawancara. Komisioner KPAI Retno Listyarti. [Foto: Antara / Olah gambar: Suara.com]

Artinya berbicara PTM dengan PJJ, kan, mau beriringan juga, nggak bisa meninggalkan PJJ-nya. KPAI bicara kualitas pertemuan, sebaiknya itu PTM materi sulit serta butuh praktik. Karena anak-anak stres karena nggak ketemu guru dan teman, tapi juga nggak bisa jawab soal nggak ngerti materi. Orang tua nggak bisa bantuin, nggak ngerti materi, anak juga nggak ngerti, jadi, kan kayak orang stres.

Ini yang menurut kami adalah penting bahwa, satu, PJJ itu jangan bertumpu pada daring, harus bertumpu dengan menggunakan berbagai macam. PJJ juga bisa tanpa daring. Misalnya, menggunakan digital tanpa harus selalu daring itu bisa kok. Umpamanya, anak-anak guru bhs Indonesia, sekarang ada link novel. Gurunya harus pilih dan baca novel dulu. Gurunya harus nyariin novel-novel anak-anak remaja usia ini tepat, ada linknya, di share, tugasnya suruh baca novel. Jadi, dalam seminggu ini tugasnya baca novel, anak-anak pasti senang dapat tugas baca novel. Kemudian, apa kesanmu dari itu dan ada dalam bentuk diskusi dituliskan, gitu. Ini kemudian kalau bhs Inggris novel-novelnya bhs Inggris.

Berikutnya, anak-anak SD apalagi TK sebenarnya bisa pelajarannya nggak usah disuruh jawab soal, atau gambar ini gambar itu digabung ya nggak usah begitu, dia bisa melakukan apa yang dia mau. Kalau dia suka melukis, suruh gambar terus, lakukan yang dia suka. Tapi, ada dua hari ada pelajaran berbuat baik dengan sesama seperti hewan piaraan atau tanaman di rumah atau kepada orang tua. Sebenarnya kenapa kemudian urgen banget gitu, seluruh dunia juga sebenarnya mengalami. Bahwa ini juga mengatasi learning loss makanya buru-buru, saya rasa nggak menjamin juga. Cara mengajar PJJ dengan PTM ini harus dilatih harus disiapkan.

(Artinya) Ini jadi momen juga bagi tenaga pengajar untuk eksperimen dengan teknologi mengajar?

Betul.

Di sini sebenarnya ada dilema, saya justru melihat yang butuh PTM anak-anak SD. Saya punya anak usia SD dan bagaimana dia kehilangan momen-momen berinteraksi dengan temannya dan juga dia tidak bisa sepenuhnya mandiri dengan belajar. Itu bagaimana?

Saya mengatakan di masa pandemi hak pendidikan saya taruh di nomor tiga. Karena bagi kami di masa pandemi justru hak hidup nomor satu, hak sehat nomor dua. Karena anak-anak SD dan TK itu mungkin kelompok yang secara sulit menerapkan 3M tadi. Lalu, mereka juga pada posisi sebenarnya di dalam kelas mungkin bisa duduk manis tapi begitu keluar mereka jajan dan berkerumun nggak pakai masker makan bareng-bareng.

Ini yang kami cegah dan tetap hidup. Mengingat angka kematian anak di Indonesia tertinggi di dunia dengan rata-rata 5 persen. Sementara, global itu hanya tiga persen, ini yang kita khawatirkan. Kalau anak sekolah dibuka untuk anak TK dan SD kemudian terjadi penularan kita justru kehilangan jumlah anak yang banyak. Karena Indonesia nggak punya ruang ICU Covid khusus anak. Jadi, misal anak sesak nafas pasti harus ada ventilator anak nggak mungkin pakai ventilator dewasa, ini yang buat anak tidak tertolong apalagi dengan komorbid misalnya asma, itu rentan sekali.

Kemudian kalau SMA, kami melihatnya gini, pertama, mereka sudah divaksin, jadi mereka pun akan aman. Kedua, anak ini jauh lebih bisa diajak bicara karena pikirannya berbeda tingkatan berpikirnya sehingga lebih baik mereka. Ketiga, materi mereka nggak bisa dipahami oleh orangtuanya, kalau anak SMA, fisika, ibu bapaknya nggak bisa ngerjain apalagi SMK praktek buat baju pesta mungkin berat. Orang tua SD lebih bisa mendampingi, PJJ berbasis orang tua mau nggak mau, untuk anak-anak ini orang tua yang bekerja menjadi sulit, ini harus pakai mengasuh pengganti untuk membantu.

Baca Juga: Gubernur Riau Syamsuar: Warga Sekarang Antusias Ikut Vaksinasi, Kita Harus Maksimalkan

Kenapa kami meminta ada modul karena akan memudahkan petunjuknya orang tua harus ngapain, ada contoh-contohnya, jadi, orang tua pun bisa. Kalau orang tua SD dan SMA masih mampu, yang berat justru mampu di level SMA/SMK.

Bagaimana jika ada siswa yang tidak ingin sekolah tatap muka, apakah dibolehkan?

Dibolehkan, jadi, dalam SKB menteri itu anak-anak yang tidak bisa tatap muka dia tetap harus dilayani daring. Guru-guru sendiri harus melayani dua, yang berat sebenarnya guru-guru harus ngelayani PTM dan PJJ. Untuk guru-guru yang anak-anak ini mayoritas tatap muka tetap ada separuh kan, jadi, 50 persen di sekolah, 50 persen sekolah. Misalnya lebih banyak yang diizinkan sekolah dari 30 murid hanya 5 murid, PTM nya harus 5 murid, sementara yang PJJ nya 25 murid. Sebenarnya yang berat adalah guru, jadi, kalau yang nggak diizinkan silahkan tetap PJJ. Saya punya anak tidak saya izinkan PTM jadi resiko saya yang tidak menginginkan untuk dia berangkat sekolah.

Sebaliknya, jika ada orang tua anaknya ngotot anaknya masuk sekolah tapi dia tidak mengizinkan vaksinasi?

Vaksinasi itu pilihan, tidak bisa dipaksa, tapi dia hak anak, problemnya gini, anak itu untuk vaksin harus izin orang tua, nggak bisa anak itu divaksin tanpa izin orang tua. Kami mendorong para orang tua, ini tuh hak anak, jadi, biarkan anak memutuskan terutama anak-anak yang udah SMA/SMK, kalau orang tua ketakutan ada resiko, ya omongkan, kalau anaknya yakin nggak ada resiko, berikan dukungan. Misalkan, kamu harus istirahat cukup, sarapan, kasih vitamin untuk anaknya efek yang mereka maksud tadi.

Ini sebenarnya hak anak, tapi kalau kemudian ada yang tidak mengizinkan nggak bisa dipaksa, negara nggak bisa memaksa. Jadi, ini satu kesadaran, kalau saya ditanya, saya mendorong vaksin. Karena anak saya divaksin, bahkan ketika vaksinasi anak 1 Juli sudah mulai, saya mencari tahu di mana yang terdekat dan anak saya punya kesadaran. Ada 70 persen sudah divaksin, ada 30 persen yang nggak mau, nggak boleh, atau nggak bisa divaksin. Mereka akan terlindungi oleh yang 70, makannya percepatannya vaksinasi harus dilakukan, jangan mengutamakan Jawa, luar Jawa juga, dong. Anak Indonesia semua.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI