Suara.com - Akibat majunya awal musim kemarau tahun ini, yaitu April, pemerintah meningkatkan resiko kekeringan dan kebarakan lahan, serta kegagalan panen. Pada 2019, musim kemarau diperkirakan lebih lama dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Menurut pantauan dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), wilayah yang telah memasuki musim kemarau meliputi Aceh (pesisir utara dan timur), Sumatera Utara bagian utara, Sumatera bagian selatan, Jawa, Bali, NTB, NTT, Kalimantan bagian tenggara, pesisir barat Sulawesi Selatan, pesisir utara Sulawesi Utara, pesisir dalam perairan Sulawesi Tengah, sebagian Maluku dan Papua bagian selatan.
Perubahan iklim global saat ini menunjukkan kondisi El Nino lemah, yang mana anomali SST di wilayah Samudera Pasifik dan Hindia lebih positif dan membawa udara hangat ke wilayah Indonesia. Kondisi ini diperkirakan akan berlangsung setidaknya hingga Januari 2020.
Kementerian Pertanian (Kementan) pun telah melakukan berbagai upaya antisipasi. Salah satunya dengan memprediksi dan menginformasikan potensi kekeringan yang akan melanda di sebagian besar daerah di Indonesia saat ini, melalui aplikasi Si - Perditan dan telah merencanakan upaya penanggulangannya.
"Puncak musim kemarau diperkirakan akan terjadi pada Agustus - September, dan berlanjut sampai Oktober. Sementara itu, musim hujan diperkirakan akan terjadi pada pertengahan November 2019, sehingga ada pergeseran musim hujan 1 - 2 bulan, yang biasanya terjadi di Oktober," papar Kepala Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementan, Ketut Karyasa, Jakarta, Senin (8/7/2019).
Berpijak pada pengalaman saat menghadapi dan mengantisipasi kegagalan panen akibat kekeringan tahun 2015, atau El - Nino kuat, beberapa langkah operasional dilakukan oleh Kementan dan pemerintah daerah, termasuk dinas pertanian provinsi, kabupaten dan kota.
Pertama, merencanakan jadwal tanam dan pemilihan komoditas tanaman yang tahan kekeringan, seperti tanaman jagung, ubi kayu dan lainnya di Agustus dan September, karena merupakan puncak kekeringan. Kedua, pengaturan dan penjadwalan buka tutup pintu-pintu air di waduk atau bendungan, dengan memanfaatkan informasi tinggi muka air (TMA) di aplikasi Si - Perditan.
Ketiga, optimalisasi penggunaan pompa-pompa air pada sumber-sumber air, seperti dam - parit atau sumur dangkal dan dalam oleh Brigade Tanam. Keempat, penerapan sistem pembibitan kering dan dapog (tray) dan pengolahan tanah awal, agar saat hujan turun, bibit dapat langsung ditanam karena kemunduran awal musim hujan (MH) selama 1 - 2 bulan, yakni pada Oktober dan November.
"Melalui upaya-upaya tersebut, kegagalan panen akibat kekeringan dapat diminimalisir kerugiannya," ujarnya.
Baca Juga: Kemarau Datang, Kementan Minta Petani Asuransikan Sawahnya Sebelum Ditanami
Pemerintah Optimalkan Pompanisasi
Sementara itu, Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementan, Sarwo Edhy mengatakan, pihaknya kini mengoptimalkan pompanisasi di sejumlah wilayah terdampak kekeringan.
"Sudah kita instruksikan kepada petani dan kelompok tani untuk optimalisasi pompa yang kami beri. Kita instruksikan mereka memompa air dari sungai terdekat," katanya.
Sedangkan untuk lahan kering yang berlokasi jauh dari sungai, kata dia, petani dapat memanfaatkan sumber air permukaan. Berdasarkan data Kementan per Juli 2019, terdapat 112.526 hektare lahan yang terkena puso seluruh provinsi di Indonesia.
"Data per Juli, yang terkena seluas 112.526 hektare. Ini lebih kecil dibanding periode sama pada 2018, seluas 117.616 hektare," sebut Sarwo Edhy.
Untuk mengantisipasi dampak kekeringan terhadap stabilisasi pasokan dan harga pangan, khususnya beras, Kementan juga sudah menurunkan tim pada 1 - 4 Juli 2019 di beberapa daerah di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Hasil pantauan tim, kondisi pertanaman padi di beberapa lokasi di Kabupaten Sleman, Kulon Progo dan Gunung Kidul menunjukkan masih tumbuh dengan baik. Hal ini terjadi karena air irigasi masih mencukupi, walaupun ada pengaturan atau pergiliran jadwal pengairan.