Dia mengatakan produsen produk air kemasan galon sekali pakai ini masih menggunakan framework lama yang menganut prinsip perekonomian linear, yaitu “take-make-waste” (mengambil – memproduksi – membuang sampah begitu saja).
Menurut Cynthia, itu merupakan konsep yang terjadi selama ini sejak revolusi industri dan tidak bisa lagi digunakan untuk kondisi sekarang.
“Seharusnya produsennya beralih dari paradigma ekonomi linear ke paradigma baru dengan pendekatan yang lebih sistemik dan holistic yang mengarah ke ekonomi sirkular. Kondisi linear itu sudah tidak lagi relevan untuk diterapkan pada kondisi saat ini,” tukasnya.
Apalagi, pemerintah melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Nomor 79 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen, juga sudah mewajibkan para produsen harus sudah menyusun dan menyerahkan dokumen rencana pengurangan sampah mereka.
Itu artinya, para produsen berbahan kemasan plastik juga harus membuat konsep bisnis yang yang memiliki kepedulian terhadap lingkungan dan sosial (sustainable brand). Para produsen itu tidak lagi hanya menghasilkan produk dan marketing yang baik saja, melainkan juga harus peduli terhadap lingkungan.
“Untuk itu, diperlukan transisi ke sustainable future yang berhubungan dengan sesuatu yang restoratif dan regeneratif yang mengarah kepada ekonomi sirkular,” katanya.
Dia mengatakan implementasi sustainable brand itu dapat diwujudkan melalui triple bottom line, yaitu people (social equity), planet (evironmental stewardship), dan profit (economic prosperity).
Triple bottom line ini berfungsi untuk membantu menyeimbangkan alam, sosial, dan bisnis, serta meningkatkan brand awareness dalam menjalin hubungan yang baik dengan konsumen dengan mengurangi dampak buruk bagi lingkungan.
“Jadi, produsen harus bisa mengurangi produk-produk kemasan sekali pakai dan mengadopsi model penggunaan ulang jika memungkinkan,” tukasnya.
Baca Juga: Uji Lab Terbaru BPOM 2021 Pastikan Galon Guna Ulang Tetap Aman