Suara.com - Asosiasi Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dinilai perlu memperkuat persatuan dan bersikap lebih tegas menghadapi Republik Rakyat China (RRC) yang bertingkah semakin agresif di Laut China Selatan (LCS), khususnya di wilayah yang menjadi Zona Ekonomi Ekslufif (ZEE) Filipina, antara lain di Dangkalan Thomas II (oleh Filipina disebut sebagai Ayungin Shoal) akhir-akhir ini.
Demikian pandangan Forum Sinologi Indonesia (FSI), yang disampaikan oleh ketua FSI Johanes Herlijanto dalam seminar publik berjudul China, Filipina, dan Ketegangan Kawasan Asia Tenggara.
Seminar itu menghadirkan Letnan Jenderal TNI (Purn) Agus Widjojo, Duta Besar Republik Indonesia untuk Filipina, sebagai pembicara utama, dan Ristian Atriandi Suprianto, pengajar pada Program Studi Hubungan Internasional Universitas Indonesia (UI), sebagai pembicara pendamping.
Seminar yang dipandu oleh Muhammad Farid, dosen Hubungan Internasional Universitas Presiden ini, dihadiri oleh para mahasiswa dan akademisi dari beberapa universitas di Jakarta, antara lain Universitas Pertahanan (Unhan) yang diwakili oleh dekan Fakultas Keamanan Mayor Jenderal Dr. Pujo Widodo dan Ketua Program Studi Magister Keamanan Maritim Kolonel (KH) Dr. Panji Suwarno. Hadir juga mahasiswa dan akademisi dari UI, Universita Pelita Harapan (UPH) dan Universitas Bina Nusantara (Binus).
Dalam pemaparannya Jenderal Agus Widjojo antara lain menyampaikan gambaran umum hubungan RRC-Filipina dan menjelaskan munculnya konflik antara kedua negara, yang dilatarbelakangi sengketa wilayah di LCS.
“Tahun 1949 China mengumumkan sebuah istilah baru, yaitu “nine dash line” (sembilan garis putus-putus), yang berisi klaim sepihak atas wilayah teritori perairan sekitar LCS/WPS (Laut Filipina Selatan), bahkan selanjutnya China menetapkan “ten- dash line” (sepuluh garis putus-putus),” tutur Agus Widjojo ditulis Jumat (15/12/2023).
“Sedangkan Filipina berpegang teguh pada hukum laut Internasional (UNCLOS) tahun 1982 dan putusan Mahkamah Arbitrase Internasional di Den Haag tahun 2016 yang memenangkan Filipina atas klaim LCS /WPS dari China,” lanjut mantan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) ini.
Menurut Agus Widjojo, sengketa memasuki babak baru pada tahun 2023 yang diwarnai beberapa insiden.
“Pada 13 Februari 2023, Kapal Penjaga Pantai China (CCG atau China Coast Guard) menembakkan sinar laser berkekuatan tinggi ke arah Kapal BRP Malapascua milik Penjaga Pantai Filipina (Philippine Coast Guard atau PCG) yang sedang melakukan patroli maritim. Berikutnya pada 5 Agustus 2023 terjadi penembakan meriam air (water cannon) oleh kapal CCG terhadap kapal PCG di Ayungin Shoal, WPS, saat sedang mengawal kapal pemasok logistik Kapal Angkatan Laut Filipina, Siera madre,” papar beliau.
Baca Juga: 4 Drama China Komedi Romantis, Rekomendasi Tontonan Ringan di Akhir Tahun
Sebagai catatan, Sierra Madre adalah kapal pengangkut kendaraan perang era Perang Dunia Kedua yang didamparkan di Ayungin Shoal dan dijaga oleh sebuah regu militer Filipina untuk menandai hak berdaulat Filipina atas wilayah tersebut. Seperti dituturkan Agus Widjojo, gesekan antara RRC dan Filipina masih berlangsung di wilayah tersebut.