Suara.com - Harga minyak dunia akhirnya stabil pada Selasa, 1 Juli 2025, setelah sempat melonjak tajam akibat ketegangan geopolitik antara Iran dan Israel. Stabilnya harga dipicu oleh ekspektasi peningkatan produksi dari OPEC+ serta berkembangnya negosiasi perdagangan global yang memberikan harapan pemulihan permintaan.
Seperti dikutip dari CNBC, Rabu, 2 Juli 2025, minyak mentah Brent tercatat naik 37 sen, atau 0,55 persen, menjadi ditutup di level USD 67,11 per barel. Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS menguat 34 sen atau 0,55 persen ke posisi USD 65,45 per barel.
Fokus utama pasar saat ini adalah pertemuan OPEC+ yang dijadwalkan berlangsung pada 6 Juli mendatang. Aliansi produsen minyak yang terdiri dari negara-negara OPEC dan sekutunya, termasuk Rusia, diperkirakan akan mengumumkan rencana peningkatan produksi sebesar 411.000 barel per hari untuk bulan Agustus.
"Pasar kini khawatir bahwa aliansi OPEC+ akan terus meningkatkan laju produksinya dengan cepat," ujar Daniel Hynes, ahli strategi komoditas senior ANZ, dalam sebuah catatan kepada investor.

Analis dari Saxo Bank, Ole Hansen, menyatakan bahwa potensi peningkatan produksi itu sebagian diimbangi oleh harapan tercapainya kesepakatan perdagangan yang bisa mendorong permintaan energi global.
"Pasar kini menilai ekspektasi bahwa OPEC+ akan mengumumkan kenaikan produksi untuk bulan Agustus pada pertemuan mendatang serta negosiasi perdagangan," katanya.
Menurut laporan Reuters yang mengutip empat sumber dari OPEC+, rencana peningkatan pasokan sebesar 411.000 barel per hari tersebut merupakan kelanjutan dari tren serupa pada bulan Mei, Juni, dan Juli.
Jika disetujui, maka total peningkatan pasokan OPEC+ sepanjang 2025 akan mencapai 1,78 juta barel per hari, atau lebih dari 1,5 persen dari permintaan global.
Di sisi lain, pasar juga mencermati ketegangan dagang yang masih berlangsung antara Amerika Serikat dan mitra dagangnya. Menteri Keuangan AS Scott Bessent memperingatkan bahwa meskipun negosiasi perdagangan berlangsung dengan itikad baik, negara-negara tetap dapat dikenai tarif yang jauh lebih tinggi.
Baca Juga: UMKM Harus Punya Modal Rp 5 Miliar untuk Kelola Sumur Minyak Rakyat
Hal ini berkaitan dengan tenggat waktu tarif Presiden AS Donald Trump pada 9 Juli, ketika tarif sementara sebesar 10 persen dapat meningkat menjadi 11 persen hingga 50 persen, sebagaimana diumumkan pada 2 April lalu.
Sementara itu, lembaga keuangan Morgan Stanley memperkirakan harga minyak Brent akan kembali ke sekitar USD 60 per barel pada awal tahun depan. Prediksi ini dilandaskan pada pasokan pasar yang dinilai cukup dan meredanya risiko geopolitik pasca gencatan senjata antara Iran dan Israel.
Morgan Stanley juga memperkirakan kelebihan pasokan minyak global akan mencapai 1,3 juta barel per hari pada 2026.
Ketegangan antara Iran dan Israel memicu lonjakan harga minyak sejak pertengahan Juni. Perang 12 hari yang dipicu oleh serangan Israel terhadap fasilitas nuklir Iran pada 13 Juni sempat mendorong harga Brent menembus USD 80 per barel.
Namun, setelah AS mengebom fasilitas nuklir Iran dan Presiden Trump mengumumkan gencatan senjata, harga minyak kembali merosot ke level USD 67 per barel.
Sebelumnya, harga minyak sempat melonjak lebih dari 7 persen setelah Israel melancarkan serangan udara terhadap fasilitas rudal balistik, nuklir, dan sasaran militer penting di Iran. Lonjakan tersebut sempat membawa harga minyak AS menyentuh puncak intraday di level USD 77,49 per barel.