Suara.com - Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Djaka Budi Utama, merespon usulan moratorium atau penundaan kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) selama tiga tahun. Menurutnya, penentuan tarif cukai akan mempertimbangkan berbagai aspek lintas sektor.
Pernyataan ini merupakan respons atas desakan dari pelaku industri dan berbagai kalangan yang meminta pemerintah tidak menaikkan tarif CHT hingga tiga tahun ke depan.
Kekhawatiran utama adalah bahwa kenaikan tarif yang terlalu agresif dapat menekan industri, meningkatkan risiko pemutusan hubungan kerja (PHK), serta meningkatkan pergeseran konsumsi ke produk ilegal yang semakin masif akhir-akhir ini.
![Pedagang menunjukkan bungkus rokok bercukai di Jakarta, Kamis (10/12/2020). [ANTARA FOTO/Aprillio Akbar]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2020/12/10/31058-cukai-rokok-naik-2021.jpg)
"Terkait usulan (moratorium cukai) tersebut akan dilihat dari pengendalian konsumsi hasil tembakau, industri dan tenaga kerja, optimalisasi penerimaan capaian negara, dan peredaran rokok ilegal yang setiap saat dilakukan pencegahan," ujar Djaka seperti dikutip, Selasa (8/7/2025).
Djaka menuturkan, keputusan terkait tarif CHT tidak hanya menjadi kewenangan Bea Cukai, melainkan merupakan hasil koordinasi lintas direktorat.
"Dalam rumusan kebijakan cukai, Bea Cukai tidak berdiri sendiri tapi berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal," imbuhnya.
Dalam kesempatan terpisah, akademisi sekaligus sosiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM), AB Widyanta, menekankan pentingnya pendekatan multisektoral dalam merumuskan kebijakan cukai tembakau.
"Ada perkebunan, ada pertanian, ada perindustrian, ada perdagangan. Libatkan mereka untuk mengkalkulasi secara legal, tentang apa-apa yang termasuk dalam kenaikan cukai itu, sekaligus juga menakar dimensi-dimensi berbagai sektor tadi secara berimbang," bebernya.
Widyanta menjelaskan, dominasi satu perspektif dalam kebijakan CHT berisiko mengabaikan realitas ekonomi masyarakat yang menggantungkan hidup dari sektor ini.
Baca Juga: Djaka Budhi Utama Buru Pembuat Rokok Ilegal
"Harus ada proteksi pilihan terhadap para petani tembakau dan buruh-buruhnya di pabrik industri tembakau. Itu yang mesti dipertimbangkan, diperhitungkan dengan matang dan dikelola dengan multi-sektoralitas," katanya.
Widyanta mendorong agar Djaka sebagai Dirjen Bea Cukai yang baru dapat mengelola isu ini secara menyeluruh dan berimbang."Kalau Pak Djaka bisa sampai kepada perhitungan menyeluruh holistik seperti itu, saya kira kita akan menjadi bangsa yang berdaulat dengan menata-kelola potensi-potensi sumber yang kita punya," tegasnya.
Usulan moratorium CHT selama tiga tahun sebelumnya disuarakan oleh berbagai pihak, termasuk kalangan buruh. Ketua Forum Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan dan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI) Daerah Istimewa Yogyakarta, Waljid Budi Lestarianto, meminta pemerintah mempertimbangkan dampak kenaikan cukai terhadap industri hasil tembakau, terutama di tengah daya beli masyarakat yang melemah.
"Karena mengingat daya beli masyarakat juga turun, jadi kami justru ingin meminta kepada Presiden untuk menunda kenaikan cukai paling tidak tiga tahun ke depan. Karena kan kita melihat kondisi ekonomi juga tidak baik-baik saja,"jelas Waljid.
Data Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa hingga Mei 2025, penerimaan cukai mencapai Rp 17,1 triliun. Total penerimaan dari kepabeanan dan cukai tercatat sebesar Rp 122,9 triliun atau 40,7 persen dari target APBN. Tahun ini, pemerintah menargetkan penerimaan CHT sebesar Rp 230,09 triliun dari total target penerimaan cukai sebesar Rp 301,6 triliun.
Sebagai perbandingan, pada 2024, CHT menyumbang Rp 216,9 triliun dari total penerimaan cukai Rp 226,4 triliun, menegaskan peran strategis sektor ini dalam menopang pendapatan negara.