Daftar Pajak Baru yang Dibebankan ke Masyarakat, Jualan Online Hingga Medsos?

M Nurhadi Suara.Com
Rabu, 16 Juli 2025 | 07:00 WIB
Daftar Pajak Baru yang Dibebankan ke Masyarakat, Jualan Online Hingga Medsos?
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. (Ist)

Suara.com - Pemerintah dikabarkan bakal menambah objek pajak. Dua yang bikin heboh adalah wacana pajak e-commerce dan pajak media sosial. Benar saja, aktivitas warga di ruang maya kini diisukan bakal dipajaki juga. Baru – baru ini, pajak e-commerce menyita perhatian publik. Pasalnya, Direktur Peraturan Perpajakan I Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Hestu Yoga Saksama melontarkan wacana ini di hadapan publik.

"Level of playing field harus dibangun. Online harus diawasi dan mereka harus patuh. Kami yakin mereka sebenarnya mau bayar pajak. Tapi tidak tahu caranya. Makanya kami minta marketplace untuk memungut," kata dia.

Peraturan mengenai marketplace kena pajak diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 37/2025 tentang Penunjukan Pihak Lain sebagai Pemungut Pajak Penghasilan serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan yang Dipungut oleh Pihak Lain atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Pedagang Dalam Negeri dengan Mekanisme Perdagangan melalui Sistem Elektronik.

Dalam aturan tersebut, hanya e-c0mmerce berpendapatan Rp500 juta ke atas yang akan dikenai pajak. Besarannya untuk pendapatan Rp500 juta sampai Rp4,8 miliar adalah pph final 0,5 persen. Apabila penghasilan di atas Rp4,8 miliar maka tidak menggunakan penghitungan final, melainkan tarif normal sesuai peraturan.

Jika dikulik lebih jauh, sebenarnya pajak e-commerce bukan wacana baru. Situs resmi Direktorat Jenderal Pajak menyebut dalam rangka memberikan kepastian terkait aspek perpajakan bagi pelaku usaha yang melaksanakan kegiatan perdagangan melalui sistem elektronik, Pemerintah melalui Menteri Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik.

Penting untuk diketahui bahwa Pemerintah tidak menetapkan jenis atau tarif pajak baru bagi pelaku e-commerce. Pengaturan yang dimuat dalam PMK-210 ini semata-mata terkait tata cara dan prosedur pemajakan, yang dimaksudkan untuk memberikan kemudahan administrasi dan mendorong kepatuhan perpajakan para pelaku e-commerce demi menciptakan perlakuan yang setara dengan pelaku usaha konvensional.

Pajak Media Sosial

Masih melansir laman resmi Direktorat Jenderal Pajak, sebenarnya bukan pengguna media sosial yang akan dikenai pajak. Namun, penghasilan dari media sosial atau dikenal dengan istilah over the top (OTT).

Di Indonesia, pengenaan pajak atas pemanfaatan OTT didasarkan pada perolehan penghasilan. Media sosial seperti Instagram, TikTok, WhatsApp, dan lain-lain pada umumnya tidak berbayar. Ketika pemanfaatan OTT sudah menggunakan model monetisasi maka pada saat itu sudah ada komersialisasi untuk memperoleh penghasilan.

Baca Juga: DPRD DKI Pertanyakan Kebijakan Pajak Padel di Jakarta: Apakah Tepat Diberlakukan Sekarang?

Hal ini sudah dijelaskan mengenai penghasilan sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Ciptaker), dan peraturan turunannya.

Penghasilan yang diperoleh ketika menerapkan monetisasi bisa melalui beberapa cara antara lain berbasis langganan (subscription based), berbasis iklan (advertising based), dan berbasis transaksi (transaction based).  Pangsa pasar di Indonesia sangat potensial mendulang konsumen dari berbagai platform. Tentunya, penghasilan melalui pemanfaatan OTT dengan pangsa pasar di Indonesia wajib dikenakan pajak.

Seperti diketahui, Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Anggito Abimanyu mengataan akan melakukan pemungutan penerimaan negara dalam transaksi digital baik dalam negeri maupun luar negeri. Pemungutan ini sudah dilakukan pada tahun 2025 dan akan dilanjutkan pada tahun 2026.

" Kita mengembangkan proses bisnis pemuntunan penerimaan negara transaksi digital dalam negeri dan laur negeri yang sudah dilaksanakan pada 2025, kita juga perkuat di 2026 untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia," kata Anggito dikutip dalam Youtube DPR, dalam raker bersama Komisi XI, Selasa (15/7/2025).

Lanjutnya, untuk memenuhi target dilakukan data analitik serta media sosial bisa menjadi alat baru dalam memperluas basis penerimaan negara. Apalagi, digital merupakan bagian dari upaya pengembangan proses bisnis dan penguatan kapasitas penerimaan negara yang berbasis transaksi digital, baik domestik maupun lintas negara.

Kontributor : Nadia Lutfiana Mawarni

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI