Suara.com - Menteri Keuangan (Menkeu) RI, Sri Mulyani Indrawati, kembali jadi sorotan publik usai pernyataannya soal kemungkinan gaji guru tidak sepenuhnya ditanggung negara.
Ucapan tersebut menuai kritik tajam, termasuk dari pakar sosiologi bencana Nanyang Technological University (NTU) Singapura, Profesor Sulfikar Amir.
Lewat unggahan di akun X pribadinya, @sociotalker, pada Jumat (8/9/2025), Sulfikar blak-blakan menyindir Sri Mulyani dengan menyebutnya "Ratu Neolib".
"The neoliberal queen finally reveals her true face," tulis Sulfikar, menyertakan tangkapan layar berita berjudul "Gaji Guru & Dosen Kecil, Sri Mulyani: Semua Harus Ditanggung Negara?" yang dimuat media arus utama.
Sindiran itu langsung menjadi bahan perbincangan netizen. Banyak yang menanggapi dengan nada satir dan mengkritik keras wacana pembiayaan gaji guru lewat partisipasi masyarakat.
"Ya udah sampean ga usah digaji aja sekalian," tulis salah satu warganet.
"Dia digaji negara, tunjangan bermiliar-miliar dari negara tapi dia nanya 'Semua harus dari uang negara?' Sungguh terlalu!!" timpal yang lain.
Kekhawatiran pun muncul bahwa profesi guru akan semakin sepi peminat jika negara tidak lagi menanggung gajinya.
Awal Mula Pernyataan Sri Mulyani
Pernyataan kontroversial ini disampaikan Sri Mulyani saat berpidato dalam Konvensi Sains, Teknologi dan Industri Indonesia di Jakarta, Kamis (7/8/2025). Ia menyoroti rendahnya gaji guru dan dosen, serta menyebut hal itu sebagai tantangan keuangan negara.
"Apakah semuanya harus keuangan negara ataukah ada partisipasi masyarakat?" ujarnya.
Apa Itu Ratu Neolib?
Istilah neolib atau neoliberalisme merujuk pada pandangan ekonomi-politik yang menekankan pasar bebas, privatisasi, deregulasi, dan pengurangan peran pemerintah dalam ekonomi. Paham ini mulai dikenal pada 1930-an di Jerman sebagai upaya memperbaiki kelemahan liberalisme klasik.
Dalam praktiknya, neoliberalisme kerap dikritik karena dianggap meminggirkan peran negara, seperti yang terjadi di Amerika Latin pada 1980-an.
Julukan Ratu Neolib kepada Sri Mulyani dimaknai sebagian pihak sebagai simbol kebijakan yang cenderung mendorong mekanisme pasar dan partisipasi swasta dalam layanan publik, termasuk sektor pendidikan.