Hilirisasi di Indonesia Timur: Peran Strategis dan Tantangan Keberlanjutan Industri Nikel

M Nurhadi Suara.Com
Selasa, 02 September 2025 | 19:21 WIB
Hilirisasi di Indonesia Timur: Peran Strategis dan Tantangan Keberlanjutan Industri Nikel
Harita Nickel secara sukarela mengajukan diri untuk menjalani proses audit oleh lembaga audit independen IRMA.

Namun, kini nikel kadar rendah menjadi produk strategis yang menarik di pasar global, membuat Indonesia Timur, khususnya Pulau Obi, diperhitungkan dalam peta rantai pasok baterai dunia.

Tidak hanya High Pressure Acid Leaching (HPAL), Harita Nickel juga menggunakan Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) sebagai metode utama pengolahan nikel.

RKEF adalah metode yang sering dipakai untuk mengolah bijih nikel berkadar tinggi (bijih nikel saprolit).

Cara kerjanya, memanfaatkan panas tinggi untuk mengubah bijih nikel menjadi feronikel, yang kemudian digunakan dalam pembuatan baja tahan karat (stainless steel).

Sebagai informasi, saat ini, Harita Nickel memiliki 12 jalur produksi RKEF dengan kapasitas mencapai 120.000 ton nikel per tahun.

Paradoks Pertumbuhan: Kuantitas vs Kualitas Kesejahteraan

Di balik kisah sukses pertumbuhan ekonomi, muncul tantangan yang tidak bisa diabaikan.

Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, menyoroti sebuah paradoks penting.

“Kita sudah menguasai secara kuantitas proses produksi nikel secara global. Tapi saat ini bukan lagi bicara kuantitas, melainkan bagaimana menciptakan value,” ujar Meidy dalam sebuah forum di Jakarta, beberapa saat lalu.

Baca Juga: IRMA Jadi Modal Harita Nickel Genggam Pasar Global

Menurut Meidy, nilai tambah tidak boleh hanya berhenti pada peningkatan pendapatan negara, tetapi harus berdampak langsung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar tambang.

Ia menyayangkan, meski Produk Domestik Bruto (PDB) di daerah penghasil nikel meningkat, daya beli masyarakat justru terkadang mengalami penurunan.

“Ini yang menjadi perhatian kita bersama. Masyarakat harus ikut naik kelas, bukan hanya sektor industrinya saja,” tambahnya.

Menjawab tantangan ini, APNI kini tengah fokus menyelaraskan standar keberlanjutan lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) yang relevan dengan kondisi lokal namun tetap diakui pasar global.

“Kita sudah mengkombinasi antara standar internasional seperti IRMA, Nickel Institute, dan RMI dengan regulasi Indonesia. Ini bukan hal mudah, terutama karena tantangan budaya dan tenaga kerja,” jelas Meidy.

Terkait IRMA, ia bahkan sempat menyinggung standar ini tidak main-main. "17 tahun IRMA berdiri, baru berapa perusahaan yang bisa masuk. Dan itu belum certified, masih audit," ujar Meidy.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI

Ingin dapat update berita terbaru langsung di browser Anda?