-
Investor asing cenderung keluar dari Indonesia karena ketertarikan pada teknologi maju di negara lain.
-
Indonesia masih proyeksi pertumbuhan ekonomi stabil sekitar 5% meski ada tekanan global.
-
Investor disarankan kelola risiko dengan diversifikasi portofolio agar investasi berkelanjutan
Suara.com - Perubahan dinamika ekonomi global maupun domestik menjadi faktor yang menentukan investasi di tengah ketidakpastian.
Sebab, perlambatan ekonomi China (slower-for-longer) di tengah perang dagang Amerika Serikat, didasari penerapan tarif resiprokal yang cenderung proteksionis.
Apalagi, konflik geopolitik yang berkepanjangan di Timur Tengah, Eropa, hingga Asia Pasifik turut meningkatkan ketidakpastian ekonomi global.
Managing Partner PT Ashmore Asset Management Indonesia Arief Wana, menyatakan bahwa minat masyarakat untuk berinvestasi di Indonesia sangat tinggi, terutama oleh investor lokal.
Namun, saat ini alir investasi banyak menurun dikarenakan arus modal asing banyak yang hengkang.
"Berdasarkan data dari Januari-September 2025 menunjukan bahwa alur investasi oleh investor asing ke Indonesia masih menunjukkan net outflow, di mana lebih banyak investor asing yang menjual aset Indonesia mereka," katanya dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Rabu (8/10/2025).
Menurut Arief, tren ini dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, seperti ketertarikan investor asing untuk berinvestasi di negara-negara seperti China, Taiwan, atau Korea Selatan yang memiliki industri teknologi yang lebih maju.

Dia pun menyarankan agar calon investor memastikan pengambilan keputusan investasi yang dapat menghasilkan pertumbuhan yang berkelanjutan.
“Untuk memastikan bahwa kekayaan atau portofolio kita dapat tumbuh secara berkelanjutan, kita harus menerapkan manajemen risiko," ucap Arief.
Dia menambahkan, investor perlu mengerti jenis dan ukuran risiko yang diambil untuk bisa investasi di sebuah aset.
Baca Juga: Menko Airlangga: Banyak Bankir Panas Dingin, Ada Apa?
"Selain itu, investor harus memiliki prinsip yang kuat ketika mengambil keputusan untuk berinvestasi, jangan hanya karena ingin mengikuti tren orang lain,” jelasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Chief Economist Permata Bank, Josua Pardede, menjelaskan, di tengah volatilitas ekonomi dan geopolitik global, Indonesia merasakan dampak negatif dalam kebijakan perang dagang.
"Karena tingkat trade similarity dengan AS yang rendah dan karakteristik Indonesia sebagai ekonomi small-open, di mana sekitar 55 persen dari PDB berasal dari konsumsi rumah tangga," katanya.
"Namun, dampak negatif tetap dirasakan Indonesia mengingat AS merupakan tujuan ekspor terbesar kedua bagi Indonesia,"imbuh dia.
Meski menghadapi tekanan eksternal, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 masih diproyeksikan stabil di kisaran 5 persen, relatif lebih baik dibandingkan tren perlambatan di banyak negara lain.
"Dengan inflasi yang cenderung terkendali, diperkirakan ruang penurunan suku bunga Bank Indonesia terbuka pada paruh kedua tahun ini," kata Josua.
Dia pun menilai di tengah ketidakpastian global, investor di Indonesia perlu menjaga keseimbangan portofolio dengan mengombinasikan aset berisiko dan aset aman.
"Diversifikasi adalah strategi penting untuk meminimalkan risiko sekaligus mempertahankan potensi imbal hasil,” tandasnya.