"Hingga suatu hari, saya mendapatkan 1 SD berkurikulum Nasional Plus, yang terbilang masih baru, bahkan anak saya baru akan menjadi angkatan kedua di sekolah itu dan bermurid hanya 9 orang per kelas."
"Mungkin bagi sebagian orang, sekolah dengan minim fasilitas ini bukan pilihan menarik. Tapi saat memasuki sekolah itu saya sungguh telah jatuh cinta,"tuturnya.
Walaupun tidak memiliki gedung yang besar juga fasilitasnya tidak sebanyak SD yang saat itu masih jadi sekolah Maudy, tapi Mauren merasa SD dengan kurikulum Nasional plus itu diisi oleh siswa berkualitas dan memiliki etika yang santun, meski berbicara dalam bahasa asing.
Ia juga memerhatikan sikap para guru yang terlihat dekat dengan siswa. Setelah melihat proses belajar di kelas secara langsung, menurut Mauren, konsep yang diterapkan menyenangkan karena melibatkan siswa secara aktif dengan komunikasi dua arah.
Keesokan harinya, Maudy langsung diajak ibunya untuk ikut melihat SD tersebut. Bahkan pelantun Perahu Kertas tersebut sampai bolos sekolah.
"Tepat di hari survey itu, hanya dalam satu hari, sulungku bahkan sudah berkeputusan tidak lagi ingin bersekolah di sekolah lama. Padahal kami hanya berkeliling sekolah yang kecil dan akhirnya diizinkan trial hadir di dalam kelas hingga kelas berakhir," tulis Mauren.
Saat melihat Maudy ikut di dalam kelas, Mauren baru menyadari kalau anaknya masih kebingungan mengikuti pelajaran karena guru menyampaikannya dengan Bahasa Inggris.
Walau begitu, Maudy meyakinkan ibunya siap menerima tantangan harus belajar bahasa baru dan materi pelajaran yang bahkan mungkin bisa membuatnya mengulang kelas, asalkan tetap bisa sekolah di SD tersebut.
Saat pertengahan kelas 2 SD, Maudy resmi pindah sekolah dari SD dengan lebih banyak fasilitas dan berhalaman luas ke sekolah yang lebih kecil bangunannya.
"Walau kecil namun telah mampu mencuri hati kami teramat dalam. Di sanalah akhirnya anak-anak saya menghabiskan sekolah dasar hingga masa SMP mereka usai (9 tahun)," tuturnya.