AGRA: Sertifikasi Tanah Jokowi Justru Menambah Monopoli Lahan

Reza Gunadha Suara.Com
Jum'at, 23 Maret 2018 | 19:27 WIB
AGRA: Sertifikasi Tanah Jokowi Justru Menambah Monopoli Lahan
Peserta rapat Pleno Dewan Pemimpin Pusat Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), yang digelar di Jakarta, 17-20 Maret 2018. [dok.AGRA]

Sementara Sekretaris Jenderal AGRA Mohammad Ali mengatakan, program sertifikasi tanah Jokowi-JK justru menimbulkan masalah baru.

”Terbaru, sertifikasi tanah dijalankan melalui program Pendaftaran Tanah sistematis lengkat (PTSL), dan menimbulkan empat masalah baru,” terangnya.

Masalah pertama, tidak ada sertifikasi gratis seperti yang dijanjikan pemerintah. Karena di sejumlah tempat, petani dibebani biaya Rp300  ribu sampai Rp700 ribu untuk keperluan administrasi.

Kedua, banyak sertifikat tidak dibagikan kepada rakyat setelah seremonial yang dilakukan Presiden Jokowi. Sebab, banyak sertifikat masih tertahan di Badan Pertanahan Nasional.

Ketiga, terdapat sertifikat yang sudah dibagikan ternyata “bodong”, sehingga tidak dapat dianggunkan ke bank, karena belum melunasi Biaya Tunggakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPH TB).

”Keempat, tidak benar sertifikasi untuk mengatasi konflik agraria. Sebab, tidak ada tanah rakyat yang berkonflik disertifikasi,  tetapi banyak sertifikasi tanah rakyat dilakukan sekitar di area rencana pembangunan proyek infrastruktur,” ungkap Ali.

Ali menilai, sertifikasi tanah tanpa merombak pola monopoli kepemilikan tanah justru menjadi petaka bagi kaum petani.

”Program ini akan mempercepat dan memperdalam kaum tani terjerat dalam peribaan yang mencekik. Sebab, sertifikat akan menjadi anggunan petani ke bank. Akhirnya, tanah-tanah mereka akan hilang disita atau terjual, karena tidak dapat menutupi biaya produksi yang tinggi akibat mahalnya biaya produksi pertanian, rendahnya harga produksi petani, dan mahalnya biaya hidup,” bebernya.

Ilusi Perhutanan Sosial

Baca Juga: Linimasa Instagram Kembali Normal

Ali menuturkan, AGRA juga mempersoalkan penggunaan sejumlah istilah yang diklaim sebagai parameter keberhasilan reforma agraria Jokowi-JK.

Salah satu istilah yang dianggap bermasalah adalah, ”redistribusi aset”. Diksi itu digunakan pemerintah untuk merujuk keberhasilan mendistribusikan 262.321 bidang seluas 199.726 ha aset bekas hak guna usaha partikelir dan tanah terlantar.

Sebab, terusnya, redistribusi aset yang dilakukan pemerintah juga hanyalah kata pengganti bagi sertifikasi aset tanah. Itu lantaran tanah-tanah atau aset yang diredistribusikan sebenarnya adalah tanah yang telah lama dikuasai oleh petani.

”Kami juga masih mempersoalkan istilah ’tanah terlantar’ dan ’tanah bekas HGU’ yang menjadi objek reforma agraria Jokowi-JK. Bagi kami itu hanyalah ilusi bagi kaum tani untuk setia menunggu HGU perusahaan habis, dan mereka bisa menguasai tanah,” jelasnya.

Pasalnya, terus Ali, ketika HGU suatu perusahaan yang memonopoli tanah habis, para pebisnis dimudahkan kembali mengurus perpanjangan izin hak tersebut.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI